KETEGASAN MAKNA DALAM RIMA (PHONETIC FORM) PUISI-PUISI KARYA WIJI THUKUL
Keywords:
Makna, Rima (phonetic form), Onomatope, pengulangan bunyi/kataAbstract
Puisi merupakan ungkapan isi hati penyairnya. Untuk memahami makna yang terkandung dalam puisi tidak terikat pada satu pendekatan saja, karena setiap puisi memiliki karakter tersendiri, baik ditentukan oleh unsur batin maupun unsur fisik puisi. Salah satu unsur fisik puisi yang dapat mempertegas makna puisi adalah versifikasi. Versifikasi puisi meliputi rima, ritma, dan metrum. Jika rima atau phonetic form berpadu dengan ritma akan mampu mempertegas makna. Artikel ini mengkaji ketegasan makna dalam rima (phonetic form) puisi-puisi Wiji Thukul, seorang penyair yang aktivis hak asasi manusia berkebangsaan Indonesia. Thukul merupakan salah satu tokoh yang ikut melawan penindasan rezim Orde Baru. Sejak 1998. Sampai sekarang dia tidak diketahui keberadaannya, dan dinyatakan hilang. Puisi-puisinya dilarang beredar pada masa Orde Baru. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui makna yang terkandung dalam puisi-puisi Wiji Thukul dengan meneliti rima yang meliputi Onomatope, bentuk intern pola bunyi, dan pengulangan kata atau ungkapan. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan Riffaterre dengan pembacaan secara heuristik dan hermeneutik. Puisi-puisi karya Wiji Thukul mempunyai rima yang banyak menggunakan onomatope dan konsonan-konsonan /h/ yang menurut Marjorie Boulton menandai suatu kegelisahan. Selain itu, konsonan-konsonan /k/, /g/. /kh/, memberikan sugesti akan adanya kekerasan, konflik atau kebencian. Dalam hal bentuk internal pola bunyi yang ditinjau adalah unsure pengulangan dan persamaan bunyi (konsonan dan vocal). Misalnya dalam bait terakhir puisi Supardini Matangguan Ini Untukmu terdapat larik antara kelahiran, kematian, kehidupan. Persamaan suku kata awal (konsonan dan vocal) /ke/ mempertegas makna konflik yang ada dalam diri penyair. Pengulangan yang ada dalam puisi-puisi karya Wiji Thukul tidak hanya berbentuk pengulangan bunyi saja tetapi juga pengulangan kata atau ungkapan. Boulton menyatakan bahwa pengulangan bunyi/kata/frasa mampu memberikan efek intelektual (efek analitik) dan efek magis yang murni. Dari penelitian ini diharapkan dapat diketahui apa yang dirasakan penyair saat membuat puisi tersebut, kegelisahan, ketakutan, dendam, konflik, kemarahan atau protes. Meskipun penyair telah tiada, penelitian ini dapat membantu menggali perasaan Wiji Thukul. Penelitian ini masih banyak kekurangannya. Agar lebih jelas makna dari persamaan bunyi dalam puisi, penelitian selanjutnya akan difokuskan pada penelitian sistem bunyi dengan analisis segmental dan suprasegmental.