TINGKAT TUTUR DAN FUNGSI SOSIALNYA DALAM PENGGUNAAN BAHASA JAWA OLEH MASYARAKAT PENUTUR BAHASA JAWA DI LAMPUNG
Keywords:
bahasa Jawa, tingkat tutur, kekuasaan, status, solidaritasAbstract
Bahasa Jawa merupakan bahasa yang paling dominan digunakan di Lampung sebab penggunanya mencapai 55,32% dari keseluruhan populasi (Suyanto & F. A., 2017). Dalam bahasa Jawa terdapat tiga tingkat tutur utama yang mencerminkan tingkat formalitas dan kesantunan seorang penutur terhadap mitra tuturnya (Poedjosoedarmo, 1968). Kesantunan merefleksikan jarak yang menunjukkan adanya hubungan kekuasaan (Meyerhoff, 2015), status sosial, dan solidaritas di antara penutur dan mitra tutur (Holmes, 2013: 290) oleh karena adanya faktor sosial, salah satunya usia (Mesthrie et al., 2009: 311). Hingga saat ini belum ada studi yang membahas secara spesifik hubungan antara tingkat tutur dan fungsi sosialnya, khususnya penutur bahasa Jawa di Lampung. Oleh karena itu, studi ini bertujuan untuk mengetahui sebaran tingkat tutur bahasa Jawa yang digunakan oleh masyarakat penutur bahasa Jawa di Lampung dan fungsi sosialnya. Data dikumpulkan dengan cara menggunakan formulir yang dibagikan secara daring berisi lima buah studi kasus dalam berbagai konteks sosial. Data yang telah terkumpul dianalisis secara kualitatif dengan mempertimbangkan persentase hasil sebaran tingkat tutur dengan teori tingkat tutur Poedjosoedarmo (1968). Selanjutnya, realisasi tingkat tutur dianalisis untuk menemukan hubungan sosial yang membentuk fungsi sosial bahasa. Dari 10 responden, 36 dari 50 ujaran dalam berbagai konteks (72%) menggunakan ragam ngoko, 9 menggunakan madya (18%), 1 menggunakan krama (2%), dan 4 menggunakan bahasa Indonesia (8%). Ragam ngoko secara mutlak digunakan dalam percakapan antarteman dan antara kakak-adik tetapi juga mendominasi dalam tiga konteks lainnya, kecuali percakapan dengan pakde yang didominasi oleh ragam madya. Satu-satunya ragam krama digunakan dalam konteks percakapan dengan Ketua RT. Sementara itu, bahasa Indonesia digunakan sebagai alternatif untuk menggantikan ragam madya atau ngoko. Ragam krama yang sebagian besar digantikan oleh ragam ngoko menunjukkan lemahnya fungsi kekuasaan yang ada dalam masyarakat. Hal ini diperkuat dengan penggunaan madya yang juga sebagian besar digantikan oleh ragam ngoko atau bahasa Indonesia dalam percakapan terhadap Ketua RT dan pakde. Dominasi ragam ngoko menunjukkan bahwa fungsi solidaritas menjadi fungsi sosial paling menonjol pada masyarakat penutur bahasa Jawa di Lampung.