PROSES MORFOLOGI DAN KONSTRUKSI MAKNA LEKSIKON BUDAYA DALAM TRADISI SLAMETAN DI DUSUN BINTINGAN KOTA PASURUAN
DOI:
https://doi.org/10.25170/kolita.22.5985Keywords:
leksikon budaya, proses morfologi, segitiga semantikAbstract
Penelitian ini berkaitan dengan tradisi masyarakat Indonesia, terlebih masyarakat Jawa, yang memperingati momen pentingnya melalui tradisi slametan. Hal sama juga dilakukan oleh masyarakat Bintingan, sebuah dusun kecil yang ada di Kota Pasuruan, Jawa Timur. Masyarakatnya melakukan sejumlah tradisi slametan untuk memperingati momen penting dalam siklus hidupnya. Menariknya, sejumlah slametan tersebut memunculkan berbagai istilah atau leksikon yang digunakan untuk menamai berbagai hal, termasuk nama masing-masing slametan hingga makanan pengiringnya. Leksikon budaya dalam tradisi slametan yang dihasilkan dari leksem yang bersifat abstrak akan mengalami pergeseran makna dari makna leksem asalnya. Fakta inilah yang kemudian menjadi titik tolak peneliti untuk melakukan sebuah kajian terhadap kemunculan leksikon budaya tersebut. Melalui kajian ini, peneliti bermaksud untuk menemukan berbagai leksikon dan mengkaji proses morfologi serta perubahan makna dari leksikon budaya yang ditemukan sebagai hasil dari proses morfologi. Untuk menjawab tujuan yang hendak dicapai, peneliti menggunakan dua teori utama sebagai pisau analisis. Pertama, teori proses morfologi kata berupa afiksasi, reduplikasi, komposisi, dan derivasi zero yang dikemukakan oleh Ramlan. Kedua, teori segitiga semantik C. K. Ogden dan L. A. Richard yang membahas mengenai simbol, gagasan, dan acuan sebuah leksikon. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Data-data leksikon yang didapatkan melalui metode cakap akan dianalisis dengan metode padan. Hasil analisis kemudian dideskripsikan dalam penyajian informal. Setelah pencarian data, peneliti menemukan adanya sepuluh leksikon budaya yang terdapat dalam tradisi slametan Dusun Bintingan. Leksikon-leksikon tersebut terdiri dari nama jenis slametan (mitoni, sepasar, selapan, lungguh tetel, mudun lemah, ter-ater, dan sewelasan) dan nama makanan pengiringnya (jajan pitung werna, jenang sura dan jenang sapar). Proses morfologi leksikon budaya tersebut terdiri dari afiksasi (mitoni dan sewelasan), reduplikasi (ter-ater), dan juga komposisi (jajan pitung werna, sepasar, selapan, lungguh tetel, mudun lemah, jenang sura, dan jenang sapar). Kemudian jika ditinjau dari segitiga semantiknya, maka sepuluh leksikon budaya tersebut menjadi simbol (symbol) yang memiliki makna atau acuannya (referent) sendiri. Hanya saja, makna atau acuan tersebut kemudian mengalami pergeseran makna menjadi sebuah gagasanĀ (reference) sesuai dengan konteks yang dimaksud oleh masyarakat pelaksana, yakni masyarakat Dusun Bintingan.