https://ejournal.atmajaya.ac.id/index.php/kolita/issue/feedProsiding Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya (KOLITA)2024-10-14T08:24:50+07:00Pusat Kajian Bahasa dan Budayapkbb.atmajaya@atmajaya.ac.idOpen Journal Systems<p>Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya (KOLITA) merupakan kegiatan ilmiah tahunan yang diselenggarakan oleh Pusat Kajian Bahasa dan Budaya (PKBB), Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya sejak tahun 2002 . Forum ilmiah ini menghadirkan para peneliti, dosen/guru, mahasiswa serta pemerhati bahasa dan budaya, baik dari dalam negeri maupun mancanegara untuk menyajikan hasil penelitiannya. Makalah-makalah yang dibentangkan dalam KOLITA meliputi bidang-bidang berikut: - Fonologi; - Morfologi; - Sintaksis; - Semantik; - Pragmatik; - Psikolinguistik; - Sosiolinguistik; - Bahasa dan budaya; - Bahasa dan komunikasi; - Pemerolehan bahasa; - Pengajaran bahasa; - Tes bahasa; - Analisis wacana; - Linguistik forensik; - Linguistik kognitif; dan - Etnolinguistik. Mereka yang berminat membentangkan hasil penelitiannya di KOLITA diundang melalui proses seleksi abstrak. Setiap abstrak yang dikirim ke Panitia KOLITA akan dikaji kelayakannya oleh tim penyeleksi abstrak (reviewer). Apabila abstrak dinyatakan lolos seleksi, Panitia KOLITA akan meminta calon pemakalah untuk mengirimkan makalah ringkas untuk dimuat dalam prosiding KOLITA.</p>https://ejournal.atmajaya.ac.id/index.php/kolita/article/view/5966Sampul, daftar isi2024-09-27T02:21:03+07:00Rosabelapkbb@atmajaya.ac.id2024-09-28T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 Prosiding Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya (KOLITA)https://ejournal.atmajaya.ac.id/index.php/kolita/article/view/5957TEACHER’S INNOVATION IN TEACHING LINGUISTIC KNOWLEDGE: EXPLORING STUDENTS’ REFLECTIONS IN LEARNING EFL WITH TECHNOLOGY2024-09-26T03:15:05+07:00Agis Andrianiagisandriani@unsil.ac.idFuad Abdullahfuad.abdullah182@gmail.com<p><em>The foundation of competence for English teachers in the EFL context, as well as for any language teacher, lies in linguistic knowledge </em><em>(Chang & Kanno, 2010; Kemaloglu-Er, 2017; Marfui, 2016; Medgyes, 1992)</em><em>. However, due to English being a foreign language in Indonesia, teachers who work with EFL learners require innovative strategies to achieve teaching goals and fulfill the profile of future EFL teachers </em><em>(Chun et al., 2016; Hoopingarner, 2009; Kern, 2006; Kessler, 2018; Köksal, 2004; Salaberry, 2001)</em><em>. This study aims to explore EFL students' reflections on their experience of learning Linguistics with technology and its impact on their linguistic knowledge, which is valuable for their future. A total of 156 prospective teacher students participated in the study. They provided reflections on the learning process for Phonetics and Phonology courses at the end of the semester, using the Three What’s reflection writing concept guide: What, So What, Now What </em><em>(Borton, 1969; Rolfe, 2014)</em><em>. Based on the reflection results, linguistic competence is acquired through a systematic learning process, both offline and online, which incorporates various technology-based learning resources (such as Google Classroom, Quizizz, YouTube, Padlet, etc.), with relevant linguistic content. The use of technology as a teaching strategy to aid student comprehension represents an innovation in language learning, as students become more creative in discussing and creating projects related to the course. Furthermore, they continue to utilize the technology they have experienced in other learning activities. By incorporating technology into the process of understanding essential linguistic concepts, teachers can model the target language being taught, demonstrating that teacher innovation is an integral part of professionalism and contributes to the improvement of learning continuity. In line with this notion of sustainability, it is recommended that further research be conducted to investigate the effectiveness of using technology in assisting and motivating students in assessment as learning, assessment for learning, and assessment of learning.</em></p>2024-09-28T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 Prosiding Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya (KOLITA)https://ejournal.atmajaya.ac.id/index.php/kolita/article/view/5958REPRESENTASI OBJEKTIFIKASI PEREMPUAN DALAM PEMAKNAAN SEMANTIK-PRAGMATIK DIALOG PADA SERIAL DIE KAISERIN2024-09-26T03:39:36+07:00Andini Afionitaandini1129@gmail.comLeli Dwirikalelidwirika@gmail.com<p>Objektifikasi perempuan dalam berbagai media massa masih menjadi topik yang menarik hingga saat ini. Perempuan sering kali dijadikan objek seksual dalam berbagai media massa seperti film, iklan atau game online. Bentuk praktik lainnya adalah representasi ketimpangan peran gender dalam film. Pada tahun 2022, Netflix merilis serial berjudul Die Kaiserin yang mengangkat isu serupa. Serial ini bercerita tentang tahun pertama Elizabeth dari Bavaria setelah menikah dengan Kaisar Franz Joseph I dan menjadi permaisuri. Dalam film, salah satu cara untuk melihat isu apa yang sedang dibawa adalah dengan melihat pesan yang terkandung di dalamnya. Sebagai salah satu komponen terpenting dalam film, pesan dan isu tersebut sering kali terlihat dalam dialog baik secara tersirat maupun tersurat. Untuk melihat isu objektifikasi dalam serial film ini, dilakukan pengumpulan data berupa adegan dan potongan dialog yang ujarkan oleh para tokoh dengan batasan penelitian tindakan objektifikasi terhadap tokoh sentral, Elizabeth. Dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif, dalam penelitian ini dianalisis bagaimana dialog-dialog tokoh dapat merepresentasikan praktik objektifikasi perempuan melalui analisis pemaknaan dialog secara semantik maupun pragmatik berdasarkan teori Blanke (1973) dan Cruse (2013). Secara semantik, keseluruhan dialog dianalisis melalui pemaknaan secara referensial atau pemaknaan denotatif yang kemudian didukung dengan pemaknaan situasi ujarannya dalam menemukan tindakan objektifikasi. Dalam penelitian ini, ditemukan juga pemaknaan asosiasi dan pemaknaan afektif yang merujuk pada tindakan objektifikasi terhadap Elizabeth. Sementara itu, dari hasil analisis pragmatik, ditemukan penggunaan deiksis persona dan wacana yang kerap kali merujuk pada Elizabeth sebagai objek. Selain penggunaan deiksis, praktik objektifikasi ini juga terlihat dalam tindak tutur dalam dialog yaitu, tindak tutur lokusi, ilokusi dan perlokusi dalam merujuk tindakan objektifikasi. Dari hasil analisis pemaknaan dialog tersebut ditemukan lima bentuk representasi yang mengandung ciri tindakan objektifikasi berdasarkan teori Nussbaum (1995), yaitu penyangkalan subjektivitas perempuan, perempuan dipandang sebagai objek kecantikan, perempuan sebagai objek seksualitas, perempuan sebagai alat untuk melanjutkan keturunan, dan perempuan dipandang sebagai properti yang dapat dimiliki laki-laki.</p>2024-09-28T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 Prosiding Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya (KOLITA)https://ejournal.atmajaya.ac.id/index.php/kolita/article/view/5959KEMAMPUAN LITERASI BAHASA INDONESIA PELAKU UMKM PRODUK LOKAL BADUI PADA TOKO ONLINE DAN E-COMMERCE TOKOPEDIA2024-09-26T03:45:25+07:00Asih Anggaranianggarani208@gmail.comHerlin Hidayatherlin.hidayat@atmajaya.ac.id<p>The indigenous Badui community is known for its strict customs; among other things, prohibitions on schools and the use of technology in daily life so it is not surprising that the majority of Badui people cannot write, especially the Badui Dalam indigenous community and the older generation of the Badui Luar community. As time goes by, the Badui Luar indigenous people are starting to openup using technology in the form of cell phones and the internet. The use of cell phones and the internet among the Badui Luar indigenous community is not only for communication, but also for trading. Initially, the use of social media by the Badui indigenous community was Facebook and Instagram for trading. In the last year, some of them have started using e-commerce. The use of social media indirectly becomes a learning medium for the indigenous Badui Luar community to write because like it or not they have to communicate in writing with consumers in the form of chat texts and create product descriptions in the online shops they own. However, due to their limited ability to write and speak Indonesian well, they often experience communication barriers with consumers which ultimately impacts the success of buying and selling transactions. The objectives to be achieved in this research include: (1) knowing the ability of small business owner local Badui to write sentences, (2) knowing the ability of small business owner in understanding sentences or short conversation texts and responding to chats in writing. This research is a development of the research results of Saleh Abas (2006) which states that a person's ability to write is determined by accuracy in using language<br />elements, organizing discourse in the form of an essay, accuracy in using language, and choosing the words used to write. The method used in this research is descriptive qualitative. The research subjects were local Badui product who already had online shops on Tokopedia e-commerce. The sample obtained by purposive sampling consisted of 10 small business owner who already had an online shop on Tokopedia e-commerce with the status still active. Research data was obtained based on 26 texts describing local Badui products; including woven cloth, koja bags, palm sugar and tutu coffee. This data is to determine sentence structure, diction, punctuation, and creativity in creating sentences. The data analysis technique uses descriptive analysis based on product description text. The results of the research show that 6 out of 10 small business owner who are local Badui products have quite good writing skills, but are not good in terms of grammar, diction, punctuation and creativity in creating sentences. The conclusions from this research show that the Indonesian language literacy skills of small business owner local Badui product are quite good even though they have not received formal education.</p>2024-09-28T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 Prosiding Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya (KOLITA)https://ejournal.atmajaya.ac.id/index.php/kolita/article/view/5960IDEOLOGI GEOPOLITIK INDONESIA DALAM PIDATO ANIES BASWEDAN DI CONFERENCE ON INDONESIAN FOREIGN POLICY 20232024-09-26T03:53:14+07:00Ayu Nurulhaq Putriayu.nurulhaq.putri@mhs.unj.ac.idAulia Ikhsanaulia.ikhsan@untirta.ac.idIfan IskandarIfan.iskandar@unj.ac.id<p>Geopolitik, sebagai suatu pendekatan analisis kebijakan luar negeri yang berusaha untuk memahami, menjelaskan, dan memprediksi perilaku politik internasional berdasarkan variabel geografi, menjadi suatu acuan pandangan luas seorang pemimpin dalam mengkaji kondisi wilayah yang dipimpinnya. Penelitian ini bertujuan untuk menelaah bagaimana ideologi geopolitik Indonesia disampaikan dalam teks pidato Anies Baswedan sebagai calon presiden Indonesia periode 2024-2029 dalam acara Conference on Indonesian Foreign Policy 2023 yang diadakan oleh Foreign Policy Community of Indonesia. Penelitian ini menggunakan analisis linguistik sistemik fungsional oleh Halliday yang mengkaji makna dari setiap klausa dalam teks. Prosedur analisis data dilakuakn dengan Teknik baca dan catat dari hasil transkripsi data teks pidato yang didapatkan melalui video Youtube Metro TV. Hasil dari penelitian ini mendapatkan proses berjumlah 268 buah yang terdiri atas proses relasional sebanyak 118 buah (44%), material sebanyak 47 buah (17.5%), behavioural 41 buah (15.2%), mental sebanyak 26 buah (9.7%), verbal sebanyak 23 buah (8.5%), dan eksistensial sebanyak 13 proses (4.8%). Dari analisis proses-proses tersebut, Anies Baswedan banyak menjabarkan poin-poin dalam aspek kajian internasional yang memaknai sebagai bentuk kritik atas kegagalan kebijakan geopolitik yang dijalankan pemerintah Indonesia sekarang. Register dalam wacana ini, yang terdiri atas field (medan wacana), tenor (pelibat wacana), dan mode (sarana wacana), menyatakan bahwa kebijakan luar negeri, politik luar negeri, posisi Indonesia di dunia internasional, ekonomi Indonesia, dan sistem pertahanan menjadi poin utama sebagai medan wacana yang dibahas sebagai kajian geopolitik. Selain itu, pelibat wacana utama yang tertera ialah Anies Baswedan, serta audiens dari wacana yang disampaikannya antara lain yaitu masyarakat Indonesia, pakar hukum Internasional, duta besar negara sahabat, pegiat kebijakan internasional, diaspora, mahasiswa, pengguna Internet, dan jurnalis. Yang menjadi sarana atau moda dalam wacana ini ialah pidato yang disampaikan secara monolog verbal, dan informatif. Anies juga menyinggung Tidak hanya mengungkapkan kritik, namun ide dan gagasan juga diberikan oleh Anies melalui poin-poin tersebut yang memaknai impian untuk kemajuan Indonesia ke depan dan Indonesia harus memimpin di dunia internasional, tidak lagi sekedar menjadi penonton.</p>2024-09-28T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 Prosiding Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya (KOLITA)https://ejournal.atmajaya.ac.id/index.php/kolita/article/view/5961COGNITIVE PROCESS IN COMPREHENSION OF SENTENCE PROPOSITIONS AMONG THE UNDERGRADUATE EFL STUDENTS2024-09-26T04:01:03+07:00Berlin Sibaraniberlin.sitiotio@gmail.comBetharia Sembiring Pandiabethariasp@stbapia.ac.id<p><em>English acquired by EFL learners is categorized as interlanguage, which means that their English is developing towards native like competence. In Indonesian context, the EFL learners’ vocabulary and sentence structure mastery is insufficient. Comprehending main propositions or sentence meanings require cognitive process of both semantic and structural construction. Within such insufficient mastery of English, the researchers intend to uncover the cognitive process EFL learners applied to comprehend main propositions of complex sentences. For this purpose of the study, the researches obtained the main propositions that the learners comprehended from three complex sentences assigned to them to read. Soon after completing the comprehension, the learners were assigned to write their retrospective introspection (mental process they were experiencing during the comprehension). The two types of data were analyzed qualitatively. The research findings show that 65.24% of the EFL learners applied semantic construction, 25.24% used discourse analysis, and 9.52% applied syntactical construction. This indicated that in comprehending sentence meaning, 90.48% EFL learners relied more on words and discourse meanings rather than on sentence structure or on their combination.</em></p>2024-09-28T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 Prosiding Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya (KOLITA)https://ejournal.atmajaya.ac.id/index.php/kolita/article/view/5962WASHBACK EFFECTS OF ONLINE ASSESSING STUDENTS’ READING COMPREHENSION IN NARRATIVE TEXT2024-09-26T04:07:02+07:00Catur Kepiriantocaturkepirianto1965@gmail.comSiti Mariamsitimariam@walisongo.ac.idMualimin Mualiminmualimin@gmail.com<p>The Covid-19 pandemic has altered the educational landscape. This is due to the fact that traditional classroom learning has been replaced with online learning. Even if the learning and assessment take place at home, teachers must be able to offer an effective learning process and assessment. The impact of testing on teaching and learning is known as washback. Teachers appear to play a significant part in developing different types of washback by examining the probable positive and negative washback that tests may cause at the micro and macro levels. In other words, the teachers' beliefs play an important role in influencing the washback effect. This study aims at explaining washback effect of online students’ assessment on reading comprehension in narrative text. Secondly, to describe students’ engagement in following online learning and assessing of reading comprehension. It employed qualitative method and descriptive research design. Data collection techniques used observation, online reading test, interview, and documentation. Meanwhile, data analysis techniques implemented data reduction, data display, data verification. The research participants were 32 the seventh graders of an Islamic secondary school in Semarang regency. The results show that narrative reading text used folklore digital storytelling namely The Crying Stone. The reading comprehension test consisted of forty items, they were short answer, close test, true or false, vocabulary development, matching, and references. Based on the data, there are two types of washback effects namely negative washback effect and positive washback effect. Positive and negative washback effect covered formative assessment and summative assessment. They are included assessment as learning, assessment for learning, and assessment of learning. Positive washback effects made students have eagerness to be autonomous learners. Students had high motivation and well-prepared in joining reading class. Meanwhile students had difficulties in learning and follow the reading assessment because of bad internet connection as negative washback. Sometimes some parents were not able to buy internet data package.</p>2024-09-28T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 Prosiding Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya (KOLITA)https://ejournal.atmajaya.ac.id/index.php/kolita/article/view/5963ASPEK LINGUISTIK DALAM WACANA PERSUASIF POLIGAMI DI MEDIA SOSIAL (ANALISIS PADA AKUN INSTAGRAM @COACH.HAFIDIN)2024-09-26T04:18:24+07:00Chyndy Febrindasarichyndy_febrinda@walisongo.ac.id<p><em>Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis wacana persuasif mengenai poligami di media sosial Instagram, khususnya pada akun @coach.hafidin. Penelitian kualitatif-deskriptif ini menggunakan sekurang-kurangnya 96 data berupa poster iklan dan takarir yang dikumpulkan antara bulan Maret—September 2023 dengan teknik baca dan catat. </em><em>Triangulasi teori digunakan untuk menguji keabsahan data melalui penggabungan berbagai teknik dan sumber data. Analisis data dilakukan menggunakan metode padan pragmatis, fokus pada aspek kebahasaan seperti ortografis, leksikal, gramatikal, dan pragmatis. Analisis data dilakukan dengan teori analisis wacana d</em><em>engan menganalisis aspek-aspek kebahasaan di bawahnya mengadopsi teknik yang dilakukan oleh Wijana untuk menganalisis aspek bahasa yang sering dimanfaatkan dalam wacana humor kartun. Hasil penelitian menunjukkan penggunaan huruf tebal, huruf kapital, tanda tanya, dan tanda seru untuk menarik perhatian (aspek ortografis), serta repetisi, antonimi, pengacuan, dan kolokasi untuk memperkuat pesan persuasif (aspek leksikal dan gramatikal). Aspek pragmatik juga turut berperan dalam membentuk narasi persuasif, dengan mengeksplorasi tindak tutur lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Penggunaan kutipan ayat-ayat agama sebagai pendukung argumen juga ditemukan. Kesimpulan penelitian ini menegaskan bahwa wacana persuasif poligami di media sosial dibangun melalui penggunaan strategis aspek kebahasaan, yang konsisten dengan teori bahwa wacana iklan di media sosial dapat berfungsi sebagai alat persuasi dan propagandis. Temuan ini juga menyoroti pentingnya penelitian lebih lanjut dengan melibatkan sudut pandang agama untuk memahami dampak iklan seminar poligami dalam masyarakat yang beragam keyakinan.</em></p>2024-09-28T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 Prosiding Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya (KOLITA)https://ejournal.atmajaya.ac.id/index.php/kolita/article/view/5964THE UNIQUE TRANSLATION STRATEGY OF NOVEL TITLES2024-09-26T04:24:02+07:00Clara Herlina Karjo clara2666@binus.ac.id<p>Titles of literary works such as novels plays an important role in attracting possible readers. Novel titles should also reflect the contents of the books. When a book is translated to other languages, the title should be translated accordingly. Novel titles are not always translated literally in the target language, they may vary from one country to another. For example, in “Harry Potter and the philosopher stone” in the UK, the phrase ‘philosopher stone’ is translated into ‘sorcerer’s stone’ in the US and ‘batu bertuah’ (miracle stone) in Indonesia. In French it is even translated into ‘Harry Potter a l’ecole des sorciers’ (Harry Potter in the school of witches). This study aims to investigate the translation strategies of English novel titles to Indonesian. By searching the internet and from private book collection, the writer collect 50 English novels which have been translated and published in Indonesian. Based on the writer’s personal preference, all the novels belong to thriller/suspense genre. The data collected were 50 English titles and their translations in Indonesian. Before arriving at this number of data, a preliminary selection has been done by eliminating the target text titles that were using literal translation strategy. This is deliberately done to discover the unique translation strategy of novel titles and to find out the reason for the specific translation strategy. Three main theories are used to analyse the novel titles, they are functions of title translation as suggested by Nord (2005) and Viezzi model translation (2013) and Vinay & Dalbernet (1995) translation strategies. In translating the titles, equivalence is pursued, but if it is not possible, there are other ways to accomplish it. The results show strategies such as adaptation, modulation, equivalence, and transposition are used to translate novel titles to Indonesian. Meanwhile based on Viezzi model, the target titles are categorised into explicit, indicative of the genre, suggestive, and seductive. This study would raise the translators’ awareness to choose more communicative and creative titles for literary translation tasks, including novels and other literary works.</p>2024-09-28T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 Prosiding Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya (KOLITA)https://ejournal.atmajaya.ac.id/index.php/kolita/article/view/5965METRICAL STRESS IN MANDAR PHONOLOGY AND POETRY2024-09-26T04:43:55+07:00Dan Brodkinddbrodki@ucsc.eduMaria T. Prawatimaria.prawati@binus.eduJupri Talibmaria.prawati@binus.edu<p><em>This short paper is to extend the theory of metrical phonology to the system of stress in one language of Indonesia: Mandar. As the subfamily of South Sulawesi language, Mandar is spoken on the northern coast of West Sulawesi province, from the city of Polewali in the east to the town of Tinambung in the west. The data itself is gathered from native Mandar speaker which provides a good representation of the language. This paper has surveyed the distribution of word-level stress in Mandar from the perspective of the theory of metrical phonology. It has shown that the language typically requires each prosodic word to host a single instance of stress on penultimate syllable. The final proposal is to have the stress pattern emerge from the construction of a single disyllabic trochee at the right edge of the word, with the trochee requires first syllable to be heavy (CVC or CVV) and second syllable to be light (CV or CVC as word-final consonant are non-moraic, but not CVV). From this position, we have shown that our metrical analysis allows us to see another property of traditional Kalinda’da’ poetry: beyond showing a regular number of syllables in each line, these poems also require different numbers of stresses. We leave it to future work to extend this result.</em></p>2024-09-28T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 Prosiding Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya (KOLITA)https://ejournal.atmajaya.ac.id/index.php/kolita/article/view/5967ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA LAPORAN BISNIS ATAU DINAS PADA PELATIHAN GRIYAAN NARABAHASA2024-09-27T02:23:22+07:00Dita Sabariahditasab2015@gmail.comIvan Laninivanlanin@gmail.comRifka Az-zahra Yasminerifkaayeah@gmail.com<p><em>Kemampuan berkomunikasi secara efektif menjadi kunci utama keberhasilan di setiap lingkungan pekerjaan. Para pekerja profesional diharapkan dapat berinteraksi secara efektif dengan semua pemangku kepentingan, termasuk rekan kerja, atasan, dan klien. Oleh karena itu, para pekerja profesional dituntut untuk senantiasa mengembangkan dan mempertahankan keterampilan berbahasa, baik secara lisan maupun tertulis. </em><em>Pentingnya keterampilan berbahasa dalam konteks profesional tidak hanya terbatas pada kemampuan berbicara secara langsung, tetapi juga kemampuan menyusun teks tertulis yang tepat sesuai kaidah. Bentuk komunikasi teks tertulis yang biasanya dibuat oleh para pekerja profesional merupakan naskah bisnis atau dinas yang berupa surat, laporan, bahan presentasi, dan sebagainya. Narabahasa sebagai penyedia layanan kebahasaan memiliki peran dalam memenuhi kebutuhan tersebut. Narabahasa menyelenggarakan pelatihan griyaan yang berfokus pada pengajaran keterampilan berbahasa sesuai dengan isu-isu terkini yang dibutuhkan para profesional, salah satunya adalah penulisan naskah dinas atau bisnis. Selama pelatihan berlangsung, kesalahan berbahasa dari berbagai tataran bahasa ditemukan pada naskah-naskah dinas atau bisnis yang ditulis oleh peserta pelatihan. </em><em>Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bentuk kesalahan berbahasa yang terdapat dalam naskah dinas atau bisnis, khususnya laporan. Data yang diambil berupa laporan bisnis atau dinas yang diberikan pada saat bedah kasus dan praktik pelatihan griyaan pada 2023. Laporan tersebut dikelompokkan menjadi laporan yang berasal dari kementerian, BUMN, dan swasta. </em><em>Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian deskriptif. Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik membaca, menyimak, dan mencatat bentuk kesalahan berbahasa. </em><em>Analisis dilakukan pada berbagai tingkatan bahasa, meliputi wacana, paragraf, kalimat, kata, dan ejaan. Selain itu, penelitian ini juga membahas jenis kesalahan tersebut dan perbaikannya. Hasil analisis menunjukkan gambaran umum kesalahan yang kerap muncul. Pada tiap tataran, data dikelompokkan sesuai dengan kebutuhan praktis dalam konteks bisnis atau dinas dan diperlihatkan sesuai dengan kecenderungan kesalahan yang kerap ditemui. </em><em>Dengan meminimalisasi kesalahan berbahasa pada naskah bisnis atau dinas, para pekerja profesional diharapkan dapat berkomunikasi dengan lebih efektif.</em></p>2024-09-28T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 Prosiding Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya (KOLITA)https://ejournal.atmajaya.ac.id/index.php/kolita/article/view/5968SIKAP BAHASA MASYARAKAT DESA WISATA BREM DALAM LANSKAP LINGUISTIK2024-09-27T03:26:56+07:00Dwi Wahyuni dwiw006@brin.go.id<p>Desa Kaliabu merupakan desa di Kabupaten Madiun yang dicanangkan sebagai desa wisata. Hal itu berhubungan dengan potensi desa tersebut sebagai desa penghasil brem terbesar dan tertua di Kabupaten Madiun. Potensi tersebut akan dikembangkan sebagai potensi budaya tradisi dan industri kreatif dengan produk andalannya, yaitu brem. Sejalan dengan itu, Desa Kaliabu sebagai desa wisata tentunya memiliki lanskap linguistik berupa papan nama yang dapat menggambarkan fenomena sosial, makna budaya, serta pengaruh sikap bahasa terhadap lanskap tersebut. Berdasarkan hal itu, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan sikap bahasa masyarakat yang terlihat dalam penggunaan bahasa pada lanskap linguistik di Desa Kaliabu. Fokus penelitian ini adalah variasi bahasa yang digunakan pada penamaan toko brem yang ada di Desa Kaliabu dan fungsi lanskap linguistik di Kawasan Wisata Brem, Desa Kaliabu. Kemudian, berdasarkan variasi bahasa dan fungsi lanskap tersebut dapat tergambar sikap bahasa masyarakat Desa Kaliabu. Data yang digunakan dalam penelitian ini sejumlah 19 data berupa foto-foto lanskap nama toko brem di Desa Kaliabu, Kecamatan Mejayan, Kabupaten Madiun. Data yang dipilih merupakan lanskap dari usaha menengah dan usaha kecil yang sudah memiliki papan nama. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif-kualitatif berdasarkan aspek semantik dan sosiolinguistik. Aspek semantik ditelaah berdasarkan makna kata dan asal bahasanya, sedangkan aspek sosiolinguistik menghubungkan antara penggunaan bahasa dengan sikap bahasa masyarakat Desa Kaliabu. Hasil temuan berupa (1) dominasi bahasa Indonesia dan bahasa Jawa dalam tingkatan yang sama pada penamaan toko brem di Desa Kaliabu, (2) kode bahasa monolingual terlihat lebih dominan dibandingkan bilingual, (3) pola penamaan didominasi oleh susunan dua kata dengan pola (n) + (n), dan (4) sikap bahasa yang ditunjukkan masyarakat terhadap bahasa Indonesia dan Jawa adalah positif, sedangkan sikap terhadap bahasa asing adalah negatif. Hal itu menunjukkan bahwa melalui lanskap linguistik, masyarakat di desa tersebut masih mempertahankan bahasa lokal dan bahasa nasional dalam kehidupan sosial mereka. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa masyarakat di desa tersebut telah ikut mendorong pelestarian budaya, adat, dan tradisi sesuai dengan manfaat adanya desa wisata.</p>2024-09-28T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 Prosiding Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya (KOLITA)https://ejournal.atmajaya.ac.id/index.php/kolita/article/view/5969TRANSITIVITY ANALYSIS OF SENATOR HAWLEY AND PROFESSOR BRIDGE’S GENDER IDENTITY DEBATE2024-09-27T03:29:52+07:00Erica Christianaericachristiana27@gmail.comLucia Lusi Ani HandayaniLusidua@gmail.com<p><em>Using Halliday’s transitivity concept, this paper analyzes the debate between Senator Hawley and Professor Bridges conducted on July 12, 2022. The debate focuses on the topic of people with a capacity for pregnancy, which led to views of gender identity. The way individuals identify their gender has become a social phenomenon, as the idea of gender has broadened to the point that it is seen as a spectrum. The creation of new words outside the two polarizations (i.e., man and woman) could create acknowledgment for the minority group of people with lesser-known gender identities. Using Halliday’s (1994) Transitivity Concept in Systemic Functional Linguistics, this study analyzes the clause structures of both Senator Hawley and Professor Bridges to examine the distribution of the six transitivity processes and their relation to the clauses chosen to represent each participant's ideology regarding their views on gender. The different approaches in their arguments regarding gender identity also show the different ideological beliefs of their parties, which are the Republicans and the Democrats. Senator Hawley dominantly uses mental processes consisting of the desideration process, cognition process, and emotion process. In comparison, Professor Bridges shows a high use of relational processes consisting of the attribution process and identification process. Professor Bridges' relational processes point out Senator Hawley's rigid idea of gender by identifying and valuing the variety of genders. The many clauses stated by Professor Bridges also affirm her liberal belief that views gender as more than just two polarizations while also supporting equality in the idea of abortion rights as something that is needed for women and other groups of genders. Senator Hawley counters Professor Bridges' allegations using mental processes by seeking clarification to align their awareness of gender, which reveals his gender polarization. The use of clauses mentioned by Senator Hawley is done to showcase his implied Republican ideology, which does not find significance in the topic of people with the capacity for pregnancy leading to transphobia.</em></p>2024-09-28T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 Prosiding Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya (KOLITA)https://ejournal.atmajaya.ac.id/index.php/kolita/article/view/5970KERAGAMAN BAHASA MANDOBO DI PAPUA SELATAN: KAJIAN RAGAM BAHASA DAN KESALINGMENGERTIAN2024-09-27T03:36:11+07:00Fernando H. Gusmaofernando_gusmao@suluh.org<p>Studi linguistik, seperti dialektologi dan analisis tingkat kesalingmengertian, menjadi aspek penting dalam mengidentifikasi batasan dan ragam-ragam bahasa dari suatu komunitas tutur. Penelitian terkait dialektologi juga masih jarang dilakukan di Papua, salah satunya di komunitas penutur Mandobo Atas [aax] dan Mandobo Bawah [bwp] di kabupaten Boven Digoel. Kemudian, istilah Mandobo sebagai nama bahasa juga perlu dikonfirmasi lagi ke masyarakat <a href="https://www.zotero.org/google-docs/?PG0Mr2">(Farneubun 2002)</a>. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk memahami fenomena-fenomena tersebut. Bahasa Mandobo secara linguistik diklasifikasikan ke dalam rumpun bahasa Trans-New Guinea dan tergabung dalam sub-keluarga Dumut bersama dengan bahasa lain seperti Ketum [ktt], Kombai [tyn], Wanggom [wng], dan Wambon [wms]. Penelitian ini mendalami ragam-ragam dalam Bahasa Mandobo berdasarkan topografi linguistik dan mengeksplorasi kesalingmengertian diantara ragam-ragam tersebut. Metode diskusi partisipatoris <a href="https://www.zotero.org/google-docs/?3jQ7A9">(Hasselbring 2012)</a>, seperti Pemetaan Dialek dan daftar pertanyaan-pertanyaan sosiolinguistik digunakan untuk melihat ragam bahasa dan kesalingmengertian. Serta, didukung oleh analisis leksikostatistik <a href="https://www.zotero.org/google-docs/?aNV2Zo">(Smith 1984)</a> untuk mencari tahu tingkat kemiripan leksikal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, menurut masyarakat, bahasa Mandobo memiliki nama lain, yaitu bahasa Wambon walapun Wambon sendiri sudah memliki ISO code yaitu [wms] yang merujuk pada bahasa Wambon Kenon, Kenyam. Bahasa Mandobo terbagi menjadi dua bahasa: 1) Mandobo Atas, dengan dialek Kokenop/ Kohonope dan Agayop; 2) Mandodo Bawah-Tengah, dengan dialek Bawah dan Tengah. Dialek Bawah memiliki nama lain yaitu Tekamerop dan dialek Tengah memiliki sub-dialek Lugela dan Lugerah. Pembagian ini didasarkan pada tingkat kesalingmengertian. Kesalingmengertian terjadi antara Mandobo Bawah dan Mandobo Tengah, sementara antara Mandobo Atas dengan Mandobo Bawah maupun dengan Mandobo Tengah tidak. Selain itu, tidak terdapat kesalingmengertian antara Bahasa Mandobo Atas maupun Bawah dengan sub-keluarga Dumut lainya. Kesamaan leksikal antara Mandobo Bawah dan Tengah tertinggi adalah 79% (Farneubun 2022). Sementara, antara Mandobo Atas dan Bawah 66%, Mandobo Atas dan Tengah 60%. Persentase kemiripan leksikal Mandobo Atas dan Bawah-Tengah dengan sub-keluarga Dumut lainnya paling tinggi adalah 49%. Dengan demikian, hasil ini mendukung kesimpulan kesalinganmengertian bahasa pada analisis pemetaan dialek dan pertanyaan sosiolinguistik. Penelitian ini diharapkan bisa memberikan kontribusi bagi pemahaman dan pelestarian bahasa-bahasa lokal di Papua.</p>2024-09-28T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 Prosiding Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya (KOLITA)https://ejournal.atmajaya.ac.id/index.php/kolita/article/view/5971UJARAN KEBENCIAN TERHADAP CALON PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PADA PEMILU TAHUN 20242024-09-27T03:44:57+07:00Frista Nanda Pratiwifrista.nanda@kemdikbud.go.id<p>Makalah ini membahas penggunaan bahasa bermuatan ujaran kebencian di media sosial yang ditujukan kepada Calon Presiden Republik Indonesia dalam konteks Pemilihan Umum (Pemilu) Tahun 2024. Tujuan makalah ini adalah untuk mendeskripsikan ujaran kebencian terhadap calon presiden yang diproduksi oleh warganet di media sosial. Data yang digunakan dalam makalah ini berupa 120 konten tulisan yang memuat ujaran kebencian, yaitu terdiri atas 40 konten yang ditujukan kepada Anies Baswedan, 40 konten yang ditujukan kepada Prabowo Subianto, dan 40 konten yang ditujukan kepada Ganjar Pranowo. Konten yang mengandung ujaran kebencian tersebut diunggah di media sosial X (Twitter) dalam kurun waktu Februari 2023 sampai dengan Februari 2024. Penelitian ini merupakan penelitian linguistik forensik yang menggunakan metode atau pendekatan campuran antara pendekatan kuantitatif dengan analisis korpus dan pendekatan kualitatif dengan analisis semantik dan pragmatik. Data ujaran kebencian yang ditemukan dianalisis dengan menggunakan perangkat lunak Sketch Engine untuk menjelaskan frekuensi dan konkordansi kosakata yang berhubungan dengan calon presiden dan ujaran kebencian yang menyertainya. Adapun ujaran kebencian dalam penelitian ini mengacu pada konsep ujaran kebencian yang tertuang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor I1 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Penjelasan muatan ujaran kebencian dalam makalah ini dijelaskan dengan analisis semantik yang mengacu pada makna kata dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia VI Daring dan analisis pragmatik yang mengacu pada teori tindak tutur (Searle, 1979) dan formula ketidaksantunan berbahasa (Culpeper, 2011). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kosakata ujaran kebencian terkait calon presiden Anies Baswedan yang ditemukan cenderung berhubungan dengan pertentangan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), misalnya adjektiva radikal dan nomina yaman, kadal, serta imigran. Kosakata ujaran kebencian terkait calon presiden Prabowo Subianto yang ditemukan cenderung berhubungan dengan penghinaan terhadap kecakapannya, misalnya adjektiva goblok, tolol, dan dungu serta tuduhan terhadap pelanggaran hak asasi manusia, misalnya nomina pembunuh dan penculik. Adapun kosakata ujaran kebencian terkait calon presiden Ganjar Pranowo yang ditemukan cenderung berhubungan dengan isu pornografi, misalnya adjektiva doyan dan cabul serta nomina bokep, sugiono, dan porno. Selanjutnya, jenis ujaran kebencian yang ditemukan terdiri atas ujaran yang menyerang kehormatan atau nama baik dan ujaran yang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan berbasis SARA.</p>2024-09-28T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 Prosiding Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya (KOLITA)https://ejournal.atmajaya.ac.id/index.php/kolita/article/view/5972DECIPHERING METACOGNITIVE STRATEGIES DURING MACHINE TRANSLATION POST-EDITING PRACTICES: A CASE STUDY OF AN INDONESIAN EFL LEARNER2024-09-27T03:52:17+07:00Fuad Abdullahfuad.abdullah182@gmail.comAgis Andrianiagisandriani@unsil.ac.id<p>The shift of paradigm from a machine translation (MT)-centred orientation to a human-centred orientation has increased the popularity of Machine Translation Post-editing (MTPE) practices in the last few years. As a result, a growing body of research has accentuated MTPE as a central investigative issue. Unfortunately, probing how an EFL learner employed metacognitive strategies during Machine Translation Post-editing (MTPE) practices remains underdeveloped, particularly in the Indonesian EFL context. Hence, this study aimed to fill the gap. A 24–year–old female learner of the English Education Department of a state university in Tasikmalaya, West Java, Indonesia was recruited as a participant in this scrutiny. To uphold ethical issues, the participant's name was made anonymous, namely Angel (pseudonym). Grounded in a descriptive case study, the present inquiry was intended to decipher how an EFL learner employed metacognitive strategies during MTPE practices. The data were audiovisual recordings of the think-aloud activities, transcript of TAP results and the input event loggings. These data were collected through Zoom-mediated Think Aloud Protocols (TAP). The data were analysed with Arndt’s categories of ESL writing strategies encompassing planning, global planning, rehearsing, repeating, re-reading, and questioning (Arndt, 1987; Mu, 2005). The findings reported that there were the predominant patterns represented by Angel's MTPE practices, namely the learner’s metacognitive strategies during MTPE practices in English-Indonesian output (rereading, questioning, editing, repeating, and planning). Pedagogically speaking, training learners to understand the underpinning concepts and practical use of MTPE encourages them to value the existence of an MT-centred task to a human-centred one in translating practices. Additionally, guiding learners to possess conceptual and procedural knowledge of how to undertake MTPE practices enables them to apply grammatically, syntactically, semantically and pragmatically correct translations, accurate punctuation, proper key terminology, culturally acceptable contents, added or omitted information, and acceptable formatting styles.</p>2024-09-28T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 Prosiding Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya (KOLITA)https://ejournal.atmajaya.ac.id/index.php/kolita/article/view/6006PEMAKAIAN BAHASA DI MADRASAH: KAJIAN LANSKAP LINGUISTIK SEKOLAH2024-10-01T10:52:06+07:00Gunawan Widiyantog.wdyanto@gmail.com<p>Pemakaian bahasa di ruang publik menarik untuk dikaji dan saat ini telah berkembang menjadi kajian linguistik lanskap (LL). Jika ditelisik lebih jauh, data kajiannya dapat juga dikumpulkan dari ranah dan latar pendidikan (madrasah/sekolah). Artinya, sekolah merupakan salah satu ruang publik yang menarik dalam penggunaan bahasanya karena sekolah memainkan peran penting dalam meningkatkan kompetensi bahasa generasi penerus bangsa dan pemakaian bahasa di sekolah merupakan bagian dari pendidikan literasi sepanjang hayat. Gorter and Cenoz (2015:151) menyatakan, secara futuristis atensi kajian yang membuka peluang bagi bertumbuhkembangnya kajian LL tertumpah pada penelitian tentang pemakaian bahasa dalam konteks kelembagaan seperti gedung pemerintah, perpustakaan, rumah sakit, laboratorium, museum, stasiun, universitas atau sekolah. Gorter (2018) dalam artikelnya bertajuk <em>Linguistic Landscapes and Trends in the Study of Schoolscapes </em>bahkan menegaskan kembali bahwa orientasi dan preferensi yang cukup menjanjikan dalam kajian LL adalah penelitian pemakaian bahasa di ruang semipublik, seperti rumah sakit, museum, stasiun, dan sekolah. Penelitian ini bertujuan mengungkap pemakaian bahasa pada tanda dalam LL di lingkungan madrasah dalam perspektif lanskap linguistik sekolah (LLS) di Madrasah Tsanawiyah Negeri 17 Jakarta (MTsNJ) dan menjawab pertanyaan tentang bahasa apa saja yang dipakai di sana, bagaimana distribusinya, dan bagaimana konfigurasi pemajangan bahasa-bahasa tersebut secara posisional. Ancangan kualitatif digunakan untuk menggambarkan pemakaian bahasa di lingkungan MTsNJ. Data utama berupa satuan lingual yang terpajang dalam 37 tanda gambar visual baik tanda informasi secara infrastruktural maupun larangan secara regulatif sebagai evidensi fotografis dikumpulkan dengan cara dipotret menggunakan kamera telepon seluler. Data gambar tersebut dikumpulkan dan dianalisis berdasarkan (a) nama bahasa dan distribusinya dan (b) konfigurasi posisional pemajangan bahasa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (a) bahasa-(bahasa) yang dipajang dalam tanda infrastruktural dan regulatif dalam konteks atas-bawah (<em>top-down</em>) dan bawah-atas (<em>bottom-up</em>) di MTsNJ adalah bilingual (Arab dan Inggris), monolingual (Indonesia), dan bercampur kode (<em>code-mixing</em>) (Indonesia dan Inggris), dengan bilingualisme lebih dominan; (b) konfigurasi posisional bahasa yang dipajang pada tanda bilingual memperlihatkan bahwa bahasa Arab membawahkan bahasa Inggris, yang juga merepresentasikan bahwa bahasa Arab menjadi preferensi dan prioritas; dan (c) ditemukan juga tanda transgresif yang diciptakan oleh pemangku kepentingan MTsNJ. Implikasi dari hasil penelitian ini adalah bahwa dalam konteks pembelajaran bahasa, guru dapat mengambil bahan pembelajaran dari tanda di ruang publik dan membawanya ke sekolah (ruang kelas) untuk digunakan sebagai bahan pembelajaran atau guru bisa membawa siswa ke luar kelas untuk meneroka LL di luar sekolah; atau kombinasi keduanya</p>2024-10-01T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 Prosiding Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya (KOLITA)https://ejournal.atmajaya.ac.id/index.php/kolita/article/view/5973MODEL PEMBELAJARAN MENULIS ESAI BAHASA INGGRIS BERBASIS PROSES DENGAN PENDEKATAN KOOPERATIF2024-09-27T05:28:01+07:00Ila Amaliailaamalia0401@gmail.comHerlina Herlinailaamalia0401@gmail.comIfan IskandarIfan.iskandar@unj.ac.id<p>Model pembelajaran kooperatif merupakan salah satu model pembelajaran yang cukup populer, khususnya dalam pembelajaran bahasa. Pembelajaran secara kooperatif sangat diperlukan pada pembelajaran masa kini karena mendukung tercapainya tujuan pembelajaran yang lebih tinggi, baik tujuan pembelajaran yang bersifat akademik maupun tujuan pembelajaran yang bersifat non-akademik. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan rancangan model pembelajaran menulis esai bahasa Inggris berbasis proses dengan menggunakan pendekatan kooperatif. Fokus penelitian adalah pada rancangan model pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan mahasiswa saat ini. Penelitian ini merupakan penelitian tahap awal dari penelitian dan pengembangan atau Research and Development (R&D) dengan menggunakan model pengembangan Dick and Carey (2015). Penelitian ini dilaksanakan di jurusan Pendidikan Bahasa Inggris dan dilaksanakan dari bulan Februari-April 2023 serta melibatkan 2 orang dosen dan 26 mahasiswa. Data diperoleh melalui analisis kebutuhan terhadap model pembelajaran menulis esai bahasa Inggris dengan menggunakan teknik observasi, wawancara, kuesioner, dan analisis dokumen. Analisis data dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif maupun pendekatan kuantitatif. Hasil penelitian dijelaskan dalam bentuk pemaparan mengenai kondisi umum pembelajaran menulis esai bahasa Inggris saat ini, hasil analisis kebutuhan dosen dan mahasiswa, serta rancangan model pembelajaran menulis esai bahasa Inggris. Rancangan model pembelajaran yang dihasilkan merupakan integrasi dari model pendekataan kooperatif dan model pembelajaran menulis dengan pendekatan proses. Rancangan model menulis esai bahasa Inggris berupa skenario pembelajaran yang terdiri dari pre-writing, while-writing, dan post-writing. Kegiatan pre-writing terdiri dari mengumpulkan ide tulisan dan mengatur ide tulisan. Kegiatan while-writing terdiri dari menulis draft, memeriksa tulisan, dan memperbaiki tulisan. Sementara kegiatan post-writing terdiri dari menilai tulisan dan mempresentasikan tulisan.</p>2024-09-28T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 Prosiding Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya (KOLITA)https://ejournal.atmajaya.ac.id/index.php/kolita/article/view/5974USING HOT POTATOES APP AS TEACHING METHOD FOR VOCABULARY SUBJECT 2024-09-27T05:32:08+07:00Indra Perdanaindra.perdana@fkip.upr.ac.idJoni BungaiJonni.bungai@fkip.upr.ac.id<p><em>To learn to read, write, talk, and listen, students must master vocabulary. To get good at the four basic English skills, you need to learn new words. Learners can easily access the Hot Potatoes app from anywhere with an internet connection and a simple computer browser. There are exercise templates in the Hot Potatoes programs that can be used to make web-based tasks that can be uploaded to servers and made available to students. There are six different kinds of web-based workouts that Hot Potatoes can make. These can be used on their own or connected to other workouts or activities to make a number of tasks. The app Hot Potatoes is helpful because it lets students revise and change their work by giving them hints and then giving them comments in the target language. Teachers can also choose which email address will receive student grades by using the Hot Potatoes program. The purpose of this study is to find out what happens to tenth-grade students at SMKN 2 Palangka Raya when they use Hot Potato-based learning materials to improve their language. This study examines how Hot Potatoes used in SMKN 2 Palangka Raya tenth graders. This research topic is whether Hot Potatoes improve students' vocabularies before and after teaching. The research utilizes a pre-experimental design, the one-group pretest-posttest approach, because consists of only one group serving as both the control and experimental groups. In the one-group pretest-posttest design, a single group is monitored both before and after receiving therapy.To address the study topic, the researcher calculates pre- and post-test scores using paired sample t-test. H0 is rejected by paired sample t-test. The 2-tailed Sig. value is 0.000 < 0.05. Students' vocabulary scores changed significantly between pre- and post-test. Paired Sample Statistic showed that the mean before teaching with Hot Potatoes was 52.73 and after was 82.42. Hot Potatoes is alternative for the students in learning English especially in vocabulary. This reason is based on the result of test after getting treatment. The activity using the Hot Potatoes makes the students are easy to understand the material. In addition, this activity invites the students to be active and creative. Active here means that the students participate in studying of English and they feel fun. Meanwhile, creative here means that the students do the gap-fill exercise and matching exercise. The implementation Hot Potatoes in teaching and learning gives positive effect on the students’ achievement. It can be done because by fun learning, information can be understood and maintained well Teachers are suggested to use the media as one of the variations in teaching English and they can use technology as integrated media at school. The other researchers can do the similar research with other media or authoring tool besides Hot Potatoes such as Quizlet, Notion, Kahoot and so on</em></p>2024-09-28T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 Prosiding Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya (KOLITA)https://ejournal.atmajaya.ac.id/index.php/kolita/article/view/5975LINGUISTIC EXPLORATION OF IDIOMATIC EXPRESSIONS IN RATATOUILLE 2024-09-27T05:39:51+07:00Kamilah Nahdonacamilahnahdona@gmail.com<p><em>This study examines the idiomatic expressions present in the movie Ratatouille. Idioms are fascinating aspects of language that add depth and color to our communication. They are expressions or phrases with a figurative meaning that differ from their literal interpretation. The purpose of using idioms in communication is to enhance the interest of the listener or reader. The author applies semantics theory to analyze idiomatic expressions in the movie Ratatouille in this study. The methodology systematically identifies and categorises idiomatic expressions into (McCarthy & O’Dell, 2010) seven categories: similes, binomials, trinomials, proverbs, clichés, euphemisms, and fixed statements. The selection of the movie Ratatouille was based on its suitability for all audiences, particularly children, and its numerous idiomatic expressions. The study aims to analyze these expressions to avoid confusion. This study employs a descriptive-qualitative methodology to conduct qualitative research. The subject of this research is a movie entitled Ratatouille. This analysis provides insight into Ratatouille as a fascinating linguistic expression element that enriches and complicates human communication. The data consisted of various scenes from the movie Ratatouille, which included idiomatic expressions spoken by the characters. In order to draw meaningful conclusions from the data analysis, it was necessary to classify and categorize the data systematically. Furthermore, the fixed statement is the most used type of idiomatic expression. On the other hand, the cliché idiom is the least-used type of idiomatic expression found in the Ratatouille movie. In addition, the study revealed that incorporating idiomatic expressions in Ratatouille enhanced the narrative with depth and richness and offered the audience a distinctive cultural context. The fixed statements, like "anyone can cook," profoundly conveyed the movie's themes of ambition and defying societal expectations. Moreover, the fixed statement "anyone can cook" became a notable catchphrase from the movie, representing the idea that cooking is not limited to a certain group of individuals but rather a skill that anyone with passion and determination can acquire. In contrast, the cliché idioms, while less frequently used, still added a touch of familiarity and relatability to the characters, making their dialogue more believable and realistic. The presence of idiomatic expressions showcased the attention to detail in the film's writing, engaging with audiences and making Ratatouille a memorable experience.</em></p>2024-09-28T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 Prosiding Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya (KOLITA)https://ejournal.atmajaya.ac.id/index.php/kolita/article/view/5976KUALITAS TERJEMAHAN TAKARIR FILM BERLIN, BERLIN: LOLLE ON THE RUN2024-09-27T05:44:56+07:00Leli Dwirikalelidwirika@gmail.com<p><em>Dalam menerjemahkan takarir sebuah film diperlukan strategi penerjemahan teks audiovisual yang baik. Salah satu praktik penerjemahan audiovisual dari bahasa lisan ke dalam bahasa tertulis dalam film menurut Gottlieb (1992) disebut subtitling. Hasil dari subtitling disebut subtitle (takarir) yang merupakan sebaris teks yang biasa muncul pada bagian bawah layar film (Luyken, G.T., et al. </em><em>(1991)). Subtitling memiliki aturan-aturan tersendiri agar hasil terjemahan singkat, jelas, padat, dan berterima, karena keterbatasan karakter dalam telop. Dalam proses penerjemahan, biasanya penerjemah menghadapi berbagai macam tantangan. Penerjemah harus memperhatikan tidak hanya sistem dan struktur bahasa yang berbeda antara bahasa sumber (BSu) dan bahasa sasaran (BSa), melainkan juga unsur budaya yang muncul dalam dialog-dialognya. Takarir ditulis dan disesuaikan dengan dialog dalam bahasa sumber secara kronologis, dengan tujuan agar isi dan pesan dapat dikomunikasikan kepada penonton. Untuk menilai apakah kualitas terjemahan takarir baik atau tidak diperlukan analisis keakuratan, keberterimaan, dan keterbacaan berdasarkan teori dari House (2015) dan Nababan, dkk (2012). Dengan menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan model analisis kontrastif, dalam penelitian ini takarir film Berlin, Berlin: Lolle on The Run dari bahasa Jerman ke dalam bahasa Indonesia dianalisis kualitas terjemahannya. Bagaimana keakuratannya, sejauh mana pesan dalam teks sumber (Tsu) dapat tersampaikan dalam teks sasaran (TSa) kepada penonton; Bagaimana keberterimaannya, sejauh mana pesan yang disampaikan dalam TSa dapat dipahami, dan apakah pesan yang ditangkap oleh penonton sama dengan pesan dalam TSu; Bagaimana keterbacaannya, sejauh mana pesan yang disampaikan, apakah wajar dan lazim, sehingga penonton dapat merasa bahwa takarir yang dibacanya adalah teks yang wajar. </em><em>Data dianalis secara kontrastif antara TSu bahasa Jerman dan TSa bahasa Indonesia. </em><em>Hasil analisis dibahas secara deskriptif</em><em>.</em> <em>Tahapan penelitian terpenting adalah mengeksplorasi bagaimana menjaga konsistensi berdasarkan istilah keakuratan dan keberterimaan, serta menjelaskan pentingnya praktik lintas bahasa dalam proses penerjemahan. </em><em>Tujuan penelitian ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana keakuratan, keberterimaan dan keterbacaan takarir film tersebut. </em><em>Berdasarkan hasil analisis penilaian kualitas terjemahan takarir film ini yang secara keseluruhan terdiri dari 1082 telop, terdapat hasil terjemahan takarir dialog yang sudah dapat dinilai sebagai akurat, kurang akurat, dan tidak akurat. Dari aspek keberterimaan, ada yang berterima, kurang berterima, dan tidak berterima. Sedangkan dari aspek keterbacaan, ada yang tinggi, sedang, dan rendah. Dapat dikatakan akurat, karena takarir dapat dipahami dengan baik, takarir TSu dan TSa sudah sepadan, karena antara isi atau pesan antar keduanya mempunyai kesamaan. Makna atau pesan TSa juga sama dengan teks bahasa sumbernya. Sedangkan yang kurang atau tidak akurat disebabkan karena ada usaha-usaha untuk mengurangi atau menambahi atau menginterpretasikan secara bebas isi atau pesan TSu dalam TSa yang seharusnya dapat dihindari. Usaha-usaha pengurangan atau penambahan menimbulkan akibat ketidakpahaman pada pembaca sasaran takarir terjemahan. Dari hasil analisis korpus data penerjemahan takarir dinilai tidak atau kurang akurat karena berbagai alasan. Hasil terjemahan takarir tidak dan kurang akurat dalam bentuk, kata, frasa, klausa atau kalimat, karena kesalahan dalam menerjemahkan isi atau pesan teks sumber sehingga menimbulkan ketidakpahaman mencerna isi atau pesan dalam takarir dan pesan tidak tersampaikan kepada pembaca. Selain itu, emosi atau pesan yang terkandung dalam film tidak dapat tersampaikan. Secara otomatis tingkat keberterimaan oleh pembaca/penonton tidak atau kurang berterima dan tingkat keterbacaannya rendah. Takarir tidak wajar atau alamiah, tidak lazim dan tidak familiar. </em><em>Dalam penerjemahan takarir ini terdapat pengalihan kata, frasa, klausa, dan kalimat yang tidak lazim atau familiar bagi pembaca sasaran. Dalam menerjemahkan ungkapan-ungkapan tertentu, unsur budaya dari kedua TSu dan TSa kurang diperhatikan. Peran penerjemah dalam hal ini untuk mencari padanan yang wajar dan sesuai dengan norma dan budaya pembaca sasaran sangat penting agar pembaca atau penonton dapat memahami isi dan pesan teks dengan baik. Selain itu, gaya bahasa dan struktur kalimat yang kurang tepat dan lazim digunakan dalam bahasa percakapan dalam bahasa Indonesia sebagai bahasa sasaran juga perlu diperhatikan karena sangat mempengaruhi dalam aspek keberterimaan dan dari tingkat keterbacaannya teks takarir suatu terjemahan dapat dengan mudah dapat dibaca dan dipahami. </em></p>2024-09-28T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 Prosiding Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya (KOLITA)https://ejournal.atmajaya.ac.id/index.php/kolita/article/view/5977VARIASI DAN KORESPONDENSI BUNYI BAHASA LAMPUNG CIKONENG TERHADAP BAHASA SUNDA DAN JAWA DI PROVINSI BANTEN2024-09-27T05:47:40+07:00Linda Sari Wulandarilinda.sari.wulandari@sipil.pnj.ac.idSri Munawarahlinda.sari.wulandari@sipil.pnj.ac.idMultamia R.M.T. Lauderlinda.sari.wulandari@sipil.pnj.ac.idM. Alie Humaedilinda.sari.wulandari@sipil.pnj.ac.id<p>Bahasa Lampung tidak hanya memiliki penutur di Provinsi Lampung, tetapi juga di Provinsi Banten, Kabupaten Serang, Desa Cikoneng. Penutur bahasa Lampung di Desa Cikoneng sering disebut sebagai orang Lampung Cikoneng. Bahasa Lampung yang ada di Provinsi Lampung terdiri dari dua dialek, yaitu dialek A (Api) dan dialek O (Nyow). Bahasa Lampung dialek A berbeda dengan bahasa Lampung dialek O karena adanya perbedaan kecenderungan penggunaan bunyi /a/ pada dialek A dan bunyi /o/ pada dialek O di bagian akhir kata, misalnya, [aga] dan [ago] ‘akan’; [akka] dan [akko] ‘angka’; [xuwa] dan [xuwo] ‘dua’. Penelitian ini dilakukan melalui kajian dialektologi untuk mendeskripsikan bentuk variasi fonologis bahasa Lampung Cikoneng. Teknik pengumpulan data dilakukan menggunakan teknik wawancara dan observasi langsung ke lapangan di setiap titik pengamatan. Berdasarkan analisis data dari 200 kosakata swadesh dapat diketahui bentuk variasi dan korespondensi bunyi, serta jenis-jenis perubahan bunyi pada bahasa Lampung Cikoneng sudah mengalami perbedaan dengan bahasa Lampung dialek A dan O. Selain itu. hasil penelitian ini juga menunjukkan adanya korespondensi bunyi vokal dan konsonan pada bahasa Lampung Cikoneng, serta perubahan bunyi yang terjadi pada bahasa Lampung Cikoneng. Bahasa Lampung yang ada di Cikoneng menjadi bentuk variasi bahasa yang memperkaya bahasa Lampung.</p>2024-09-28T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 Prosiding Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya (KOLITA)https://ejournal.atmajaya.ac.id/index.php/kolita/article/view/5978CHILDREN'S UNDERSTANDING OF ENGLISH VOCABULARY THROUGH VISUAL SEMIOTICS IN THE MUSIC VIDEO OPPOSITES WORD POWER BY PINKFONG YOUTUBE CHANNEL 2024-09-27T05:54:42+07:00Maria UlfaMu280903@gmail.comNuraini Rahma Putrinurainirahmapuri2907@gmail.com<p><em>The lack of English language skills and understanding in Indonesian primary school children is caused by many factors such as, limited teachers, unfamiliarity, unsupportive environment, and various other things.</em> <em>This is a challenge for individuals to learn English and teachers as teachers.</em> <em>In addition to the seriousness of children in learning English, the accuracy of the teacher in choosing the learning methods given to children must also be appropriate.</em> <em>In the current era of digitalization, learning methods through YouTube videos can have an impact on children's knowledge and understanding of English if implemented properly</em><em>. </em><em>In this case, learning English can be obtained by listening to videos that apply visual semiotics in it.</em> <em>The application of visual semiotics can be applied in teaching English to children from a video. The form of application can be like in the music video [Opposites Word Power | PINKFONG Songs for Children]. In this music video, explaining the opposite meanings of eight English vocabularies visualized in the form of icons and symbols. This research is descriptive research using a qualitative approach. The data collection conducted by the researchers used random sampling technique with ten public elementary school children aged 8, 9, and 10 years old as respondents. The data collection activities are carried out by asking questions related to knowledge and understanding of vocabulary in the music video to each children after the researchers show the YouTube music video [Opposites Word Power | PINKFONG Songs for Children]. The result of this study is to explain the extent of understanding of English vocabulary by children through visual semiotics displayed in the video. The results show that the icons and symbols displayed in the video mostly help the children understand the meaning of the English vocabulary displayed. This research also proves that visual semiotics is a sign whose meaning is universal so that it can be used as a learning method used by educators in teaching English in public elementary schools in Indonesia.</em></p>2024-09-28T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 Prosiding Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya (KOLITA)https://ejournal.atmajaya.ac.id/index.php/kolita/article/view/5979THE IMPORTANCE OF TEACHING ENGLISH PRONUNCIATION BY USING ENGLISH IN MIND TEXTBOOK2024-09-27T06:03:08+07:00Mila AdindaMilaadindaa@gmail.comZuhad Ahmadzuhad_ahmad@ymail.com<p><em>Pronunciation is one of the important elements of basic speaking skills. It is related to how human beings produce sounds by using their articulatory organs of speech. Pronunciation plays an important role in communication to avoid pronunciation errors that can lead to misunderstandings in communication between the speaker and the listener. This fact points out that learning pronunciation is very important for English Foreign Language (EFL) and English as a Second Language (ESL) learners.</em> <em>An appropriate English textbook is needed to facilitate learners’ needs as foreign language learners. Indonesia’s Government, through the Ministry of Education and Culture, has appointed English in Mind as one of the main English textbooks for the Independence Curriculum, especially at the Junior High School level. This study aims to analyze the distribution of both consonant and vowel phonemes found in English in Mind, to evaluate the content and to find out whether this book has accommodated all the materials needed by teachers for teaching English pronunciation. In this study, the researcher used a qualitative research methodology that focused on descriptive qualitative. The data is needed by using a literature study and interview. A literature study was used to gather all data required for the analysis of consonant and vowel phoneme distribution. The data are taken from an English in Mind textbook, Students’ Book 1. Meanwhile, the interview was established to get more insight from the English teachers related to the importance of teaching pronunciation, the impact of phoneme differences in Indonesia and English, factors affecting pronunciation learning, pronunciation learning strategies, and the use of English in Mind textbook in teaching English pronunciation. In this research, it was found that some consonant and vowel phonemes in English could not be found at the initial and final of the English in Mind textbook. The consonant and vowel sounds are /ŋ/, /ʒ/, /ʊ/, /u:/, /w/, /j/, /h/, /æ/, /e/, /ɜ:/, /ʌ/, and /ɒ/. Meanwhile, there are all consonant and vowel phoneme sounds found in the middle part. Based on the interview results, all informants agreed that teaching English pronunciation is important to be taught to learners in the classroom. Then, the differences between Indonesian and English phonemes can affect learners’ pronunciation skills. They always include English pronunciation material in every lesson in the classroom. In addition, there are differences from the informants regarding teaching English pronunciation through the English in Mind textbook. Furthermore, all informants shared the same opinion that they had encountered pronunciation mistakes made by learners.</em></p>2024-09-28T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 Prosiding Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya (KOLITA)https://ejournal.atmajaya.ac.id/index.php/kolita/article/view/5980TUTURAN PENISTAAN DALAM TEKS KEAGAMAAN MUHAMMAD KACE DI MEDIA SOSIAL YOUTUBE: KAJIAN LINGUISTIK FORENSIK2024-09-27T06:10:17+07:00Muhammad Dedad Bisaraguna Akastanggagunabisara@gmail.comI Wayan Pastikagunabisara@gmail.comIda Ayu Made Puspanigunabisara@gmail.comKetut Artawagunabisara@gmail.com<p><em>Penelitian ini akan mendalami tentang Bentuk Tuturan Penistaan Agama Islam yang dilakukan oleh Muhammad Kace dalam isi ceramah yang tersebar di Media Sosial YouTube. Ceramahnya yang cukup Viral di Media Sosial pada tahun 2021 cukup membuat geram masyarakat penganut Agama Islam, karena Muhammad Kace secara terang-terangan membuat konten-konten yang dapat membuat umat penganut agama menjadi terpecah belah. sehingga Muhammad Kace diperiksa oleh pihak kepolisian untuk mengungkap ada atau tidaknya pelanggaran Undang-Undang Penodaan Agama dan Undang-Undang ITE. Muhammad Kace sendiri notabenenya adalah seorang Muallaf dari Agama Islam yang pindah ke Agama Kriten. Konten-konten dalam Isi Ceramahnya di Media YouTube memuat kekurangan dan kejelekan Agama Islam. Teori payung yang digunakan adalah Linguistik Forensik dengan bantuan Teori Linguistik Mikro. Linguistik Forensik bertugas membantu penegak hukum untuk membuktikan bentuk tuturan apa saja yang dapat menjerat Muhammad Kace terhadap pelanggaran terhadap UU Penodaan Agama Islam. Data dalam penelitian ini adalah teks transkripsi dari isi ceramah dalam Video yang tersebar di Media Sosial YouTube. Metode yang digunakan adalah kualitatif deskriptif. Masalah utama yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana bentuk tuturan penistaan agama Islam dalam ceramah Muhammad Kace di Media YouTube?, dan Apa motif Muhammad Kace dalam mengeluarkan tuturan penistaan Agama tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat 4 bentuk tuturan penistaan yaitu [1] penistaan terhadap ucapan Kitab Suci, [2] penistaan terhadap Ke-Nabi-an, dan [3] penistaan terhadap Ketuhanan. Muhammad Kace ingin memperoleh banyak keuntungan dari Media Sosial YouTube, dan juga ingin memperkuat pengikutnya sehingga bertambah semakin hari. Selain faktor menambah finansial, faktor ketenaran juga menjadi motif Muhammad Kace dalam melancarkan aksinya.</em></p>2024-09-28T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 Prosiding Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya (KOLITA)https://ejournal.atmajaya.ac.id/index.php/kolita/article/view/5981SURFING AN ENGLISH CORPUS WITH OTHER LEARNERS OF ENGLISH2024-09-27T06:23:32+07:00Nany Setyono Kurnianany.kurnia@atmajaya.ac.id<p><em>The paper describes some experiences of surfing an English corpus, the Corpus of Contemporary American English (COCA for short) with other learners of English. The challenges expressed by other learners inform us of the problems other users may have that we may not be aware of. Several examples of word-form searches, lemma searches, or part-of speech (POS) searches in both word/phrase queries and collocate queries are shown and explained. We can also limit our word/lemma searches to certain parts-of-speech, although the part-of-speech tagging is not always accurate. On top of that, there are wild-card symbols that we can use in our queries. </em></p> <p><em>The word/phrase query window in COCA enables us to search for just a word-form or a lemma, or a succession of word-forms, lemmas, and parts-of-speech as well as the wildcards, within limits. When we make a collocate query, we look for the co-occurrences of one item (a word, a lemma, a POS or a wildcard) that we put in the collocate window, and the item[s] we put in the word/phrase window. We also specify the distance of the ‘collocate’ and the word/phrase and the direction, to the right or to the left, or both to the right and left. Unless we change the default, it will search for the ‘collocate’ within the space of four words to the left and four words to the right of what we put in the word/phrase window. </em></p> <p><em>Searching a corpus together can reveal the misperceptions and difficulties that some learners may have, which if properly handled, can lead us to valuable insight as we learn from each other. We learn from other learners, for instance, that some of them are not aware that even though the frequency result of a collocate query shows just a word or the word-forms of a lemma, it is actually capturing the co-occurrences of that one word or that lemma with the item in the word/phrase window that we can see in the concordance lines. It is therefore advisable to give a reminder to always check the concordance lines. By checking the concordance lines we can judge whether or not the co-occurrences are indeed a case of collocation or just co-occurrences within the specified distance where actually the so-called ‘collocate’ does not relate to the item in the word/phrase window. While scrutinizing the concordance lines we can also check whether certain expressions are used in the meanings we have in mind. Whereas the ability, speed and accuracy in making these judgments, as can be expected, vary among corpus users, it is worth noting that the lemma-word form concept, POS codes, even some POS themselves are still a challenge for some learners. Examining the concordance lines can also reveal how speakers use the same expression in various ways.</em></p> <p><em>The paper ends with a discussion of the potential usefulness of the concordance lines as raw material that can be selected and edited to give learners additional exposure to what is obtained from other means of learning, hopefully leading to better language acquisition. </em></p>2024-09-28T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 Prosiding Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya (KOLITA)https://ejournal.atmajaya.ac.id/index.php/kolita/article/view/5982PENGGUNAAN DIALEK BALI AGA DESA TIGAWASA DALAM INTERAKSI SOSIAL MEDIA FACEBOOK: KAJIAN SOSIOLINGUISTIK2024-09-27T06:27:47+07:00Ni Ketut Veri Kusumaningrumveri.ningrum@yahoo.co.idKetut Artawaveri.ningrum@yahoo.co.idI Made Suastraveri.ningrum@yahoo.co.idI Wayan Pastikaveri.ningrum@yahoo.co.id<p><em>Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji penggunaan dialek Bali Aga Desa Tigawasa dalam interaksi sosial media, khususnya di platform Facebook. Facebook telah menjadi sarana penting untuk menjaga hubungan dengan teman, keluarga, dan tetangga yang tersebar di berbagai tempat. Dialek Bali Aga Desa Tigawasa merupakan cerminan kekayaan budaya dan linguistik masyarakat Bali yang khas. Namun, keberlanjutan dan pelestarian dialek ini dapat menjadi tantangan mengingat pengaruh modernisasi dan digitalisasi yang dapat memengaruhi cara hidup dan bahasa komunitas Bali Aga.</em></p> <p><em>Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dengan teori sosiolinguistik.</em> <em>Data primer berupa unggahan status, komentar, dan interaksi pengguna Facebook yang menggunakan dialek Bali Aga Desa Tigawasa. Dan data sekunder berupa literatur tentang dialek Bali Aga dan sosiolinguistik media sosial.</em></p> <p><em>Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) Melalui penggunaan dialek Bali Aga di Facebook, penutur dapat mengungkapkan koneksi mereka dengan sesama kelompok atau komunitas masyarakat Desa Tigawasa. 2) Penggunaan dialek Bali Aga dapat memperkuat identitas bahasa, menunjukkan dan menciptakan suasana yang lebih pribadi dan otentik. 3) Penggunaan dialek di Facebook dapat digunakan sebagai bagian dari pemertahanan bahasa. 4) Penggunaan dialek Bali Aga sebagai sarana untuk menghormati bahasa tradisional serta mencegah hilangnya warisan linguistik yang sudah turun-temurun. 5) Penggunaan dialek Bali Aga Desa Tigawasa dapat menciptakan rasa keakraban dan kedekatan emosional antara pengguna, khususnya dalam percakapan atau berbagi cerita yang dikhususkan untuk komunitas tutur.</em></p> <p><em>Implikasi hasil penelitian ini memberikan wawasan mendalam tentang bagaimana media sosial memengaruhi praktik linguistik dan peran dialek dalam membangun identitas serta interaksi sosial di dunia maya. Temuan penelitian menunjukkan bahwa penggunaan dialek Bali Aga di Desa Tigawasa </em><em>tidak hanya berperan sebagai ciri identitas linguistik, tetapi juga berfungsi sebagai alat untuk menyampaikan nuansa emosional, memperkuat solidaritas kelompok, dan sebagai bentuk kreativitas verbal dalam komunikasi daring. </em><em>Hal ini dapat menjadi landasan bagi penelitian lebih lanjut tentang pelestarian dialek lokal di era digital, serta mengembangkan strategi untuk mempertahankan kekayaan linguistik dan budaya di tengah arus globalisasi dan teknologi yang semakin pesat.</em></p>2024-09-28T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 Prosiding Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya (KOLITA)https://ejournal.atmajaya.ac.id/index.php/kolita/article/view/5983MENCEGAH PENYEBARAN BERITA HOAKS MENJELANG PEMILIHAN PRESIDEN 2024 MELALUI PENGEMBANGAN KOMIK DIGITAL: PERSPEKTIF SURAH AL-HUJURAT AYAT 62024-09-27T06:43:57+07:00Nina NinaNinasalsabila47@gmail.comTriyanto TriyantoNinasalsabila47@gmail.comYulia AdinigsihNinasalsabila47@gmail.comYusuf HaryantoNinasalsabila47@gmail.com<p><em>Indonesia mengalami pergolakan politik yang panas dalam pergantian presiden pada tahun 2024. Kampanye partai dan tokoh politik bergerak masif melalui media cetak, eletronik dan online. Menjelang pemilu rentan penyebaran hoaks. Walaupun portal berita kini telah ditata dengan baik dengan pemantauan dewan pers dan PWI tetapi masih ada beberapa media online yang masih menulis berita sesuai pesanan penguasa sehingga dapat menggiring opini masyarakat. Bila dibiarkan berpotensi terjadi pergolakan politik di tengah masyarakat. Komik digital efektif untuk mencegah berita hoaks karena media yang dekat generasi muda dan mudah disebarkan di dunia maya. Sehingga penelitian ini dapat meningkatkan pengetahuan praktis kepada masyarakat untuk menghindari pemberitaan hoaks melalui komik digital. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis pemberitaan calon presiden 2024 pada media online dengan model Pan dan Kosicki; menguraikan implementasi perspektif Surah Al- Hujurat ayat 6; dan mengembangkan komik digital bertemakan pesta demokrasi yang aman dan tentram. Metode penelitian menggunakan penelitian kualitatif deskriptif. Sumber data dari media online: (1) Tribunnews.com; (2) Liputan 6.com; dan (3) JPNN.com, edisi bulan Oktober 2023 sampai Februari 2024. Teknik penggambilan data menggunakan metode observasi, simak dan catat. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pada media Tribunews.com cepat dalam mempublikasikan berita sehingga penyajian berita kurang menyeluruh. Media JPNN.com lebih menekankan pada klarifikasi dari pihak Muhammadiyah untuk menjawab pertanyaan masyarakat mengenai isu-isu yang beredar. dan Liputan6.com menekankan untuk melakukan validasi data dengan menggali informasi pada situs resmi Muhammadiyah. Hasil penelitian dikembangkan menjadi komik digital Pemilihan Kades di Desa Sukaduka dan secara tidak langsung mengedukasi masyarakt Indonesia agar menjadi menjadi masyarakat internet yang positif atau tidak mudah terprovokasi sesuai dengan perspektif Surah Al-Hujurat ayat 6 untuk tabayyun saat menerima berita atau mencari informasi secara mendalam. </em></p>2024-09-28T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 Prosiding Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya (KOLITA)https://ejournal.atmajaya.ac.id/index.php/kolita/article/view/5984BENTUK KALIMAT AKTIF DAN PASIF DALAM PEMBERITAAN KASUS PEMBUNUHAN AKSEYNA DI MEDIA DARING KOMPAS2024-09-27T06:55:51+07:00Nurafifah Nurafifahnurafifah@upi.eduSri Wiyantisriwiyanti7903@upi.edu<p>Penggunaan tata bahasa merupakan sebuah hal yang tidak dapat dilepaskan dalam bidang bahasa karena dengan tata bahasa atau gramatika kita dapat memperoleh pengetahuan mengenai pengaturan kata sampai menjadi kalimat. Dalam penelitian ini, salah satu perspektif tata bahasa yang akan digunakan adalah perspektif sintaksis. Oleh karena itu, penelitian ini memiliki tujuan untuk mendeskripsikan struktur kalimat aktif dan pasif yang terdapat pada pemberitaan daring kasus pembunuhan Akseyna. Sumber data penelitian ini adalah pemberitaan kasus pembunuhan Akseyna pada media berita daring Kompas dengan judul 2015 “Akseyna Bukan Kasus Pembunuhan Biasa”, 2019 “Empat Tahun Kematian Aksyena dan Tanda Tanya yang Belum Terjawab”, dan 2023 “8 Tahun Misteri Kematian Akseyna, Mahasiswa UI: Polisi dan Pihak Kampus Saling Lempar Tanggung Jawab”. Alasan memilih media pemberitaan daring Kompas sebagai sumber data penelitian ini karena terdapat kalimat aktif dan pasif yang menjadi bahan untuk dianalisis. Data dikumpulkan dengan menggunakan metode simak dan catat. Hasil penelitian ini menemukan bahwa berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada pemberitaan kasus pembunuhan Akseyna di Kompas menunjukkan adanya penggunaan kalimat aktif dan pasif. Jenis kalimat aktif yang ditemukan pada pemberitaan kasus pembunuhan Akseyna di Kompas adalah kalimat aktif intransitif, semitransitif, dan ekatransitif. Penggunaan kalimat aktif yang paling banyak digunakan pada pemberitaan tersebut adalah kalimat aktif ekatransitif. Kalimat pasif pada pemberitaan tersebut terdapat tiga jenis yaitu kalimat pasif di-, kalimat pasif ter- dan kalimat pasif ke-an. Kalimat pasif yang banyak digunakan pada pemberitaan kasus pembunuhan Akseyna adalah kalimat pasif di-, sedangkan penggunaan kalimat pasif ke-an jarang digunakan pewarta untuk menerangkan kegiatan. Penelitian ini diharapkah dapat memberikan gambaran mengenai bentuk-bentuk kalimat aktif dan kalimat pasif yang digunakan media pemberitaan daring dalam menuliskan berita terkait kasus kematian janggal Akseyna sehingga kasus dapat segera ditindaklanjuti, serta korban mendapat keadilan atas kondisi tidak menyenangkan yang menimpanya. Lebih lanjut, penelitian ini mencoba untuk menganalisis penggunaan verba transitif dan verba intransitif yang sering muncul sebagai pembentuk kalimat aktif dan kalimat pasif. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat dikembangkan ke dalam kerangka desain penelitian sintaksis yang lebih komprehensif dengan menggunakan alat analisis yang mendalam.</p>2024-09-28T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 Prosiding Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya (KOLITA)https://ejournal.atmajaya.ac.id/index.php/kolita/article/view/5985PROSES MORFOLOGI DAN KONSTRUKSI MAKNA LEKSIKON BUDAYA DALAM TRADISI SLAMETAN DI DUSUN BINTINGAN KOTA PASURUAN2024-09-27T07:00:48+07:00Nuri Hermawannuri.hermawan@fib.unair.ac.idMuhammad Badrul Anwarmuhammad.badrul.anwar-2020@fib.unair.ac.id<p>Penelitian ini berkaitan dengan tradisi masyarakat Indonesia, terlebih masyarakat Jawa, yang memperingati momen pentingnya melalui tradisi slametan. Hal sama juga dilakukan oleh masyarakat Bintingan, sebuah dusun kecil yang ada di Kota Pasuruan, Jawa Timur. Masyarakatnya melakukan sejumlah tradisi slametan untuk memperingati momen penting dalam siklus hidupnya. Menariknya, sejumlah slametan tersebut memunculkan berbagai istilah atau leksikon yang digunakan untuk menamai berbagai hal, termasuk nama masing-masing slametan hingga makanan pengiringnya. Leksikon budaya dalam tradisi slametan yang dihasilkan dari leksem yang bersifat abstrak akan mengalami pergeseran makna dari makna leksem asalnya. Fakta inilah yang kemudian menjadi titik tolak peneliti untuk melakukan sebuah kajian terhadap kemunculan leksikon budaya tersebut. Melalui kajian ini, peneliti bermaksud untuk menemukan berbagai leksikon dan mengkaji proses morfologi serta perubahan makna dari leksikon budaya yang ditemukan sebagai hasil dari proses morfologi. Untuk menjawab tujuan yang hendak dicapai, peneliti menggunakan dua teori utama sebagai pisau analisis. Pertama, teori proses morfologi kata berupa afiksasi, reduplikasi, komposisi, dan derivasi zero yang dikemukakan oleh Ramlan. Kedua, teori segitiga semantik C. K. Ogden dan L. A. Richard yang membahas mengenai simbol, gagasan, dan acuan sebuah leksikon. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Data-data leksikon yang didapatkan melalui metode cakap akan dianalisis dengan metode padan. Hasil analisis kemudian dideskripsikan dalam penyajian informal. Setelah pencarian data, peneliti menemukan adanya sepuluh leksikon budaya yang terdapat dalam tradisi slametan Dusun Bintingan. Leksikon-leksikon tersebut terdiri dari nama jenis slametan (mitoni, sepasar, selapan, lungguh tetel, mudun lemah, ter-ater, dan sewelasan) dan nama makanan pengiringnya (jajan pitung werna, jenang sura dan jenang sapar). Proses morfologi leksikon budaya tersebut terdiri dari afiksasi (mitoni dan sewelasan), reduplikasi (ter-ater), dan juga komposisi (jajan pitung werna, sepasar, selapan, lungguh tetel, mudun lemah, jenang sura, dan jenang sapar). Kemudian jika ditinjau dari segitiga semantiknya, maka sepuluh leksikon budaya tersebut menjadi simbol (symbol) yang memiliki makna atau acuannya (referent) sendiri. Hanya saja, makna atau acuan tersebut kemudian mengalami pergeseran makna menjadi sebuah gagasan (reference) sesuai dengan konteks yang dimaksud oleh masyarakat pelaksana, yakni masyarakat Dusun Bintingan.</p>2024-09-28T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 Prosiding Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya (KOLITA)https://ejournal.atmajaya.ac.id/index.php/kolita/article/view/5986CONTEXT CULTURE IN ADVERTISING: A CROSS-CULTURAL ANALYSIS OF SEPHORA’S US AND INDONESIA OFFICIAL INSTAGRAM ACCOUNTS2024-09-27T07:04:01+07:00Putri Nathifa Pramoeditoputri.nathifa@ui.ac.id<p>The notion of adapting a marketing strategy to fit the target audience's culture has been acknowledged for decades. However, in social media, cultural homogeneity has become more apparent that people on the internet communicate similarly. This study examined how a multinational company, Sephora, markets its products by analyzing the communication style of the top 15 most-liked posts in the US and Indonesia Instagram accounts. Using Hall’s (1976) context theory as the analytical framework, this study found that both accounts used a communication style that contradicted each country’s prominent culture in their most-liked posts, with the US having more high-context-styled posts and Indonesia with low-context posts. The findings challenged the notion and proved that following Hall’s dichotomy appears to be no longer accurate as these posts could still gather high engagement despite being in a different communication style.</p>2024-09-28T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 Prosiding Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya (KOLITA)https://ejournal.atmajaya.ac.id/index.php/kolita/article/view/5987BAGAIMANA IMPLIKASI YANG DITIMBULKAN DARI TINDAKAN PENGANCAMAN MUKA 2024-09-27T07:07:39+07:00Ramdan Sukmawanramdansukmawan29@gmail.com<p>Muka merupakan aspek penting dalam proses interaksi manusia. Muka dipertimbangkan sebagai sesuatu yang bernilai (Sukmawan 2022). Konsep mengenai muka ini penting dalam hal yang berhubungan dengan kesantunan berbahasa (Brown and Levinson 1987). Hal senada juga diungkapkan Goffman (1967) bahwa konsep muka dianggap sebagai sebuah nilai sosial yang diinginkan dalam kontak percakapan yang berkenaan dengan kesantunan bahasa. Brown dan Levinson (1987) menyatakan bahwa konsep mengenai muka ini bersifat universal, yang pada dasarnya ada berbagai tuturan yang merupakan kecenderungan suatu tindakan yang tidak menyenangkan yang disebut dengan tindakan mengancam muka. Tindakan yang mengancam muka tersebut dapat dibedakan menjadi dua yaitu tindakan yang mengancam muka positif dan tindakan yang mengancam muka negatif. Tindakan pengancaman muka ternyata dapat menimbulkan implikasi. Culpeper (1996) dan Rahmansyah et al. (2020) mengemukakan bahwa tindakan pengancaman muka dapat menimbulkan konflik. Selain itu, pengancaman muka juga dapat menimbulkan sikap emosional yang membuat malu lawan tutur (Oeldorf-hirsch et al. 2017). Menarik untuk dicermati bahwa tindakan pengancaman muka akan menimbulkan implikasi-implikasi lainnya. Makalah ini bertujuan mendeskripsikan implikasi tindakan pengancaman muka negatif dan muka positif dalam pertunjukan wayang golek. Implikasi yang terjadi akibat tindakan pengancaman muka negatif yakni adanya penolakan, persetujuan, tantangan, penerimaan, dan berdiam diri. Adapun implikasi yang terjadi akibat tindakan pengancaman muka positif adalah adanya konfermasi, paksaan, ketidakterimaan, ketidakpercayaan, dan ketidakpedulian. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif-deskriptif. Pengumpulan data menggunakan metode simak yang merupakan metode dalam penyedian data yang dilakukan dengan cara menyimak penggunaan bahasa khususnya pada percakapan tokoh dalam cerita pertunjukan wayang golek. Adapun untuk tekniknya dilakukan teknik sadap, teknik rekam, dan teknik catat. Data-data yang dibutuhkan diperoleh dari cerita pertunjukan wayang golek yang bersifat pakem yaitu: Sukma Sajati, Sayembara Dewi Kunti, Trijaya Sakti, dan Dorna Gugur dan yang bersifat sempalan yaitu: Dawala Jadi Raja dan Cepot Rarabi.</p>2024-09-28T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 Prosiding Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya (KOLITA)https://ejournal.atmajaya.ac.id/index.php/kolita/article/view/5988ANALISIS KEBUTUHAN UNTUK PENERAPAN KNOWLEDGE SHARING DALAM PEMBELAJARAN MENULIS ESAI MELALUI MULTIMODAL2024-09-27T07:14:36+07:00Rina Rosdianarinarosdiana_9906921015@mhs.unj.ac.idEndry Boeriswatiendryboeriswati@unj.ac.idFathiaty Murtadofathiyatimurtadho@unj.ac.id<p>Dalam pengembangan model pembelajaran analisis kebutuhan sangat penting dilakukan. Model yang digunakan dalam pembelajaran dapat dikembangkan dengan berbasis pada lebih dari satu model. Dalam pembelajaran bahasa model pembelajaran yang digunakan adalah pendekatan pedagogi genre. Namun, karena pembelajaran juga mengacu pada tuntutan Kecakapan Abad 21, yang di dalamnya memuat aktivitas berpikir kritis, kreatif, kolaboratif, dan komunikatif, maka model yang dikembangkan dalam managemen pengetahuan dapat dielaborasi dalam tuntutan pembelajaran, yaitu berbagi pengetahuan. Teori yang mendasarinya adalah model SECI yang dikembangkan Nonaka dan Takaeuchi. Model Knowledge sharing menjadi model penting dalam pembelajaran kolaboratif dan kecakapan lainnya. Penggabungan model knowledge sharing ini dengan terapan pendekatan pembelajaran bahasa yaitu pedagogi genre sangatlah penting, karena pendekatan ini mengakomodasi keempat kecakapan Abad 21. Aktivitas knowledge sharing terjadi pada tahap pemodelan dan tahap mengonstruksi bersama pada pendekatan pedagogi genre. Pembelajaran bahasa yang dikembangkan dalam penelitian ini mengembangkan dua konsep dasar. Pemilihan model yang tepat dapat memengaruhi bagaimana proses pembelajaran harus dikembangkan untuk mencapai tujuan dan hasil pembelajaran. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis kebutuhan penerapan knowledge sharing dalam pembelajaran menulis esai dengan berbasis pada penerapan pendekatan pedagogi genre mahasiswa. Penelitian ini menggunakan survey yang melibatkan 40 mahasiswa Bahasa Indonesia berupa kuesioner, wawancara mendalam, dan diskusi kelompok terfokus digunakan untuk mengumpulkan data. Data dianalisis secara deskriptif menggunakan metode kualitatif. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa kebutuhan yang diidentifikasi dalam pengembangan model pembelajaran terdiri dari target kebutuhan yang mencakup kebutuhan pelaksanaan knowledge sharing yang meliputi aktivitas pengetahuan tacit dan pengetahuan eksplisit, Selain itu, kebutuhan peserta didik berupa materi yang otentik melalui multimodal. Kegiatan proses pembelajaran melalui modelling, joint construction dan independent construction. Di samping peran mahasiswa dalam berpikir kritis, berkolaborasi, kreatif, dan komunikatif. Kebutuhan yang diidentifikasi kemudian digunakan sebagai dasar untuk desain kerangka kerja. Hasil analisis kebutuhan yang dilakukan dalam penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar pengembangan model pembelajaran menulis esai yang merupakan integrasi model knowledge sharing dan pedagogi genre.</p>2024-09-28T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 Prosiding Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya (KOLITA)https://ejournal.atmajaya.ac.id/index.php/kolita/article/view/5989UNVEILING GENDER BIAS: AN ANALYSIS THE DECONSTRUCTION OF MEANING IN ADVERTISING THROUGH CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS 2024-09-27T07:31:10+07:00Riska Melianariskameliana.2022@student.uny.ac.idIrfa Luthfia Rahmaniirfaluthfia.2022@student.uny.ac.id<p><em>Society's current views on gender equality have become a crucial topic of in-depth discussion, especially those widely promoted by modern society in advertising. It proves that the meaning of gender equality recognized in society has shifted from its true meaning. This research aims to raise the issue of gender equality by deconstructing the meaning of gender equality in advertising from a feminist perspective using Critical Discourse Analysis. This research uses a descriptive qualitative research design with a critical discourse analysis approach by Fairclough, which focuses on three dimensions: the textual, discursive, and sociocultural practice dimensions. The data collection technique in this research uses the SBLC (Simak Bebas Libat Cakap) and note-taking techniques, in which the researcher listens to the utterances contained in the advertisement and records the utterances that will be used as data objects. Data sources were obtained from advertisements published on YouTube, totaling four advertisements with the theme of gender equality. The results of this study provide a deep understanding of the meaning of gender equality in the media and society. They can build different stereotypes or realities and be well-accepted by society. In addition, the deconstruction of meaning allows us as researchers or academics to look more critically at the discourse in these advertisements and whether gender equality always puts men in a position that dominates women.</em></p>2024-09-28T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 Prosiding Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya (KOLITA)https://ejournal.atmajaya.ac.id/index.php/kolita/article/view/5990THE EXPRESSION OF EVALUATION IN “THE ULTIMATE GUIDE TO MUST-TRY INDONESIAN FOOD”: AN APPRAISAL ANALYSIS2024-09-27T07:50:27+07:00Setyo Prasiyanto Cahyonosetyo.cahyono@dsn.dinus.ac.id<p>Appraisal, under Systemic Functional Linguistics (SFL) especially interpersonal meaning, concerns with evaluation of language that is negotiated through the text (Martin and White, 2005; Martin and Rose, 2007). Briefly, appraisal is used to assess things, situation, or people. This study investigates the Journalist’s evaluation towards ten of most popular Indonesian savory foods across Indonesia from the perspective of appraisal system. Indonesia is a home for 300 ethnic groups, and it offers a wide range of culinary. In this study, the researcher limits the study on one type of attitudes subsystem namely appreciation. Appreciation is our evaluation about ‘things’, particularly thing we make and actions we give, and it also includes natural phenomenon (Martin and White, 2005; Martin and Rose, 2007, Santosa, et.al, 2023). This study employs qualitative research using a criterion-based sampling technique known as purposive sample and content analysis for the technique of data analysis (Santosa, 2017). The source of data in this study was a document that consists of 10 must-try savory Indonesian foods which was retrieved from an Indonesia travel website https://www.indonesia.travel/sg/en/home. Thus, the data were segmented into types of appreciation such as <em>reaction: impact </em>and<em> quality, composition: balance </em>and<em> complexity, </em>and<em> valuation. </em>Furthermore, in analyzing the data, the researcher applies appraisal theoretical framework developed by Martin and White (2005). The results of this study show that the most dominant type of appreciation exploited by the journalist is positive valuation<em>. </em>It is used to show the journalist’s appreciation and critics to the foods he reviewed. The following clause is the example of the finding ‘<em>Rendang, <strong>an authentic</strong> Indonesian dish from </em><a href="https://www.indonesia.travel/gb/en/destinations/sumatra/padang"><em>Padang</em></a><em>’. </em>The bold lexis is used by the journalist to show his appreciation towards the typical food from Pandang, West Sumatra, Indonesia called <em>Rendang</em>. It indicates that the journalist expresses his positive valuation to some foods he reviewed to evoke people’s appetites and to invite them to try some authentic Indonesian foods. Moreover, the result of this study is in line with the research conducted by Daniarsa & Ningsih (2023) about tendency in Indonesian newspaper editorials. The result of the study indicates that the tendency of using positive appreciation is to give implicit and explicit praise and assessment to Jokowi and his vice’s leadership. Meanwhile, the finding also supports research carried out by Wu & Pan (2021) who also stated that the use of positive appreciation is to express the journalist’s wishes or appreciation towards the ‘things’ he wrote about.</p>2024-09-28T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 Prosiding Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya (KOLITA)https://ejournal.atmajaya.ac.id/index.php/kolita/article/view/5991LEXICOGRAMMATICAL ANALYSIS OF INSULTERS IN THE VIRAL VIDEO “LABRAK PELAKOR” ON YOUTUBE INDONESIA2024-09-27T07:54:39+07:00Silvia Erlin Aditya S.Msilviasembiring781@gmail.comIda Ayu Made Puspanisilviasembiring781@gmail.comI Wayan Pastikasilviasembiring781@gmail.comNi Luh Sutjiati Berathasilviasembiring781@gmail.com<p><em>Since 2017, the massive phenomenon of the viral video "Labrak Pelakor" has been discovered on Indonesian social media. These videos contain fights between women who are vulnerable to verbal and physical violence. “Labrak Pelakor” is known as a marriage conflict that occurs due to infidelity. Pelakor is a variety of conversation created by Indonesian netizens from the acronym <strong>Perebut Laki Orang</strong>, which means women who tempt and seize someone's husband or a woman who is having an affair with someone's husband. “Labrak Pelakor” are incidents that are documented and uploaded on social media. The observations show that the speech used in this accident contains language crimes. Language crime is a criminal act that aims to injure, attack, and psychologically harm the victim. The impact of this event can kill the character, damage reputation, attack honor, embarrass, create public trouble, propaganda, false information, and threats. The objective of the study is to investigate and find linguistic evidence of insulting. The study uses a forensic linguistic approach. Forensic linguistics is a forensic science that applies linguistic theories to solve linguistic cases. Forensic linguistics is an approach to analyzing the linguistics aspect of a language case to find legal evidence. Language is legal evidence associated with efforts to determine the speaker or perpetrator and interpret the meaning/intent of a spoken text. The aim is to ensure that the meaning, intent, and form of legal object texts indicating violations of the law will become clear. The legal evidence in the "Labrak Pelakor" is limited to determining the speaker or perpetrator only. The linguistic theory used to reveal the perpetrators is lexicogrammatical. Lexicogrammatics analysis consists of the clause system, transitivity system, and information structure that reveal the speaker's intentions, actions, and point of view. This study used a descriptive qualitative method. The data source is three viral videos entitled "Labrak Pelakor" with more than 600 thousand viewers on the Indonesian YouTube channel. Data collection techniques use observation and recording documents. Data analysis uses content analysis techniques. The linguistic evidence found that 60 utterances contained insulting spoken by 7 speakers. The result analysis of speakers' intentions, actions, and points of view proves their utterances are to insult their interlocutor.</em></p>2024-09-28T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 Prosiding Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya (KOLITA)https://ejournal.atmajaya.ac.id/index.php/kolita/article/view/5992PENERAPAN PEMBELAJARAN BERDIFERENSIASI DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA2024-09-27T08:24:26+07:00St. Mislikhah St. Mislikhahstmislikhah@uinkhas.ac.id<p><em>Mulai tahun 2022 </em><em>satuan </em><em>pendidikan di Indonesia menerapkan kurikulum merdeka. </em><em>Salah satu aspek penting dalam </em><em>k</em><em>urikulum </em><em>m</em><em>erdeka adalah pembelajaran berdiferensiasi</em><em>. Pembelajaran berdiferensiasi merupakan model pembelajaran </em><em>yang mengakomod</em><em>asi</em><em>, melayani, dan mengakui keberagaman peserta didik dalam belajar </em><em>yang </em><em>sesuai dengan kesiapan</em><em> dan</em><em> minat belajarnya. </em><em>Pembelajaran berdiferensiasi</em><em> mengakui perbedaan individual </em><em>peserta didik</em><em> dan memberikan pengalaman belajar yang sesuai dengan kebutuhan dan minat mereka.</em> <em>Pada pembelajaran berdiferensiasi </em><em>peserta didik</em><em> dapat mempelajari materi pelajaran sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya</em><em>. </em><em>Dengan menerapkan pembelajaran berdiferensiasi, guru bisa mengenali kebutuhan p</em><em>eserta didik </em><em>yang berbeda-beda,</em> <em>kemudian merancang </em><em>materi pembelajaran sesuai dengan kebutuhan, merancang </em><em>metode </em><em>pembel</em><em>ajar</em><em>an</em><em> yang paling efektif</em><em>, dan </em><em>menciptakan pengalaman belajar yang sesuai dan efektif untuk setiap </em><em>peserta didik</em><em>, sehingga </em><em>peserta didik</em><em> dapat mencapai </em><em>tujuan pembelajaran secara maksimal. </em></p> <p><em>Tujuan penelitian ini adalah mengkaji tentang (1) penerapan pembelajaran berdiferensiasi dalam pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Menengah Atas Negeri 2 Tanggul Jember, dan (2) dampak penerapan pembelajaran berdiferensiasi dalam pembelajaran Bahasa Indonesia bagi peserta didik di Sekolah Menengah Atas Negeri 2 Tanggul Jember. Pendekatan penelitian ini adalah kualitatif fenomenologi. Data dalam penelitian diperoleh melalui wawancara, observasi, dan dokumentasi. Penggalian data dilakukan pada tanggal 31 Juli 2023 sampai dengan 01 Desember 2023. Adapun sumber datanya adalah guru Bahasa Indonesia di Sekolah Menengah Atas Negeri 2 Tanggul sebanyak lima orang dan peserta didik kelas X dan XI. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan teknik analisis data model interaktif Milles dan Huberman yang terdiri dari kondensasi data, penyajian data, dan verifikasi data atau penarikan kesimpulan. </em></p> <p><em>Berdasarkan pemaparan analisis data dapat disimpulkan bahwa dalam menerapkan pembelajaran berdiferensiasi pada pembelajaran bahasa Indonesia di SMA Negeri 2 Tanggul Jember terdapat beberapa tahapan, yaitu: (1) guru melakukan pemetaan kebutuhan peserta didik melalui asesmen diagnostik. Asesmen diagnostik yang dilakukan oleh guru meliputi asesmen diagnostik nonkognitif dan diagnostik kognitif;</em><em> </em><em> (2) merancang perencanaan pembelajaran berdiferensiasi sesuai kebutuhan peserta didik. Dari hasil pemetaan pada asesmen doagnostik, guru merancang pembelajaran berdiferensiasi yang meliputi: diferensiasi </em><em>konten, proses, dan produk. </em><em>Pada d</em><em>iferensiasi konten</em><em>, guru menyediakan </em><em> konten materi yang diajarkan kepada </em><em>peserta didik sesuai dengan</em><em> kesiapan belajar, minat, atau </em><em>profil gaya </em><em>belajarnya (visual, auditori, kinestetik) </em><em>dan </em><em>kombinasi dari ketiganya. </em><em>Pada d</em><em>iferensiasi proses</em><em>,</em> <em>guru </em><em>mengembangkan kegiatan bervariasi, </em><em>dan</em><em> me</em><em>nerapkan</em><em> pengelompokan yang fleksibel. </em><em>Pada d</em><em>iferensiasi produk</em><em>, guru menyediakan </em><em>keragaman variasi produk tagihan kepada </em><em>peserta didik; </em><em> </em><em>(3) melaksanakan pembelajaran berdiferensiasi sesuai dengan perencanaan yang telah disusun. </em><em>Untuk mendukung keberhasilan pembelajaran berdiferensiasi</em><em>,</em> <em>guru menciptakan</em><em> suasana lingkungan belajar yang kondusif. Beberapa cara yang </em><em>telah</em><em> dilakukan </em><em>guru </em><em>untuk menciptakan lingkungan belajar yang kondusif antara lain</em><em>:</em><em> dengan mengembangkan komunitas belajar, membangun sikap menghargai, menciptakan rasa aman secara fisik dan psikis, </em><em>dan </em><em>membangun </em><em>harapan untuk </em><em>mencapai kesuksesan</em><em>; </em><em>dan (4) melakukan evaluasi dan refleksi kegiatan pembelajaran yang sudah berlangsung. Pada tahap ini, guru </em><em>melakuk</em><em>an kegiatan asesmen </em><em> secara berkelanjutan yang dimulai dari </em><em>asesmen</em><em> diagnostik di awal pembelajaran</em><em> dan dilanjutkan dengan melakukan penilaian proses dan penilaian hasil belajar</em><em>. </em><em>Penerapan pembelajaran berdiferensiasi dalam pembelajaran Bahasa Indonesia memiliki dampak positif bagi peserta didik, hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya semangat dan antusias peserta didik selama mengikuti pembelajaran bahasa Indonesia.</em></p>2024-09-28T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 Prosiding Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya (KOLITA)https://ejournal.atmajaya.ac.id/index.php/kolita/article/view/5993SPATIAL DEIXIS IN BIMANESE AND ENGLISH: AN INVESTIGATION SIMILATIES AND DIFFERENCES 2024-09-27T08:28:42+07:00Supriadin Supriadinsupriadin1991@gmail.comNurlaila Wattiheluwnurlailawattiheluw80@iainambon.ac.id<p><em>Spatial deixis is the language utterance that is employed by the speaker to convey the location of objects or events in space. The purpose of this research is to look into the aspects of specific deixis that exist in both Bimanese and English, as well as how individuals use them in natural conversation. This study next looks at the parallels and differences between spatial deixis in Bimanese and English. To collect data on the use of spatial deixis in Bimanese, the study used qualitative research methods such as semi-structured interviews and direct observation. In the meantime, documentation such as books, articles, or movies is employed to examine particular deixes in English. The subjects of this research were drawn from five distinct locations in Bima regency: Pela, Wawo Rada, Bima City, Wera, and Sila. The data was then descriptively evaluated by identifying, categorizing, describing, and explaining related to the people employing specific deixis in Bimanese. This study found that the aspects of spatial deixis in Bimanese can be seen from the deictic system namely; locative adverbs are marked by ta (ta ake, ta ede, and, ta aka), demonstrative pronoun (ake, ede, and aka), topography system (ese, awa, dei ari, and ipa), four corners direction (ɗa, ɗo, ɗi, ele), and political dimension (ese and awa). In English, there are various types of spatial deixis: demonstrative pronouns (this, that, and with plural forms), locative adverbs (here and there), and topography systems (up and down). The three aspects of spatial deixis that are similar between English and Bimanese are demonstrative pronouns (proximal and distal), locative adverbs (proximal and distal), and topographical system (up and down). Although the 'medial' concept in Bimanese has additional form in terms of demonstrative and locative adverbs. While there are distinctions between them, the Bimanese has many more spatial deixis aspects than English in terms of directions, topography systems, and socio-political dimensions.</em></p>2024-09-28T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 Prosiding Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya (KOLITA)https://ejournal.atmajaya.ac.id/index.php/kolita/article/view/5994KESANTUNAN BERBAHASA DALAM KOMUNIKASI TAWAR-MENAWAR DI PASAR TRADISIONAL SURABAYA2024-09-27T08:32:58+07:00Tri Indrayantiindrayanti.trie18@unipasby.ac.idShafira Rizka Cahyaningtyas R.indrayanti.trie18@unipasby.ac.idSiti Zaizatur Rizqoindrayanti.trie18@unipasby.ac.id<p><em>Kesantunan berbahasa merupakan bagian penting dalam sebuah berkomunikasi. Kesantunan berbahasa juga berkaitan dengan kesopanan, rasa hormat, sikap yang baik, atau perilaku yang pantas. Kesantunan berbahasa tidak hanya motivasi utama bagi penutur untuk berbicara, tetapi juga sebagai faktor pengatur yang berfungsi menjaga agar percakapan berjalan dengan benar, menyenangkan, dan tidak sia-sia. Kesantunan berbahasa diperlukan untuk menciptakan lingkungan masyarakat yang bertutur kata dengan menggunakan bahasa yang santun. Tujuannya adalah membuat suasana berinteraksi menyenangkan, tidak mengancam, dan efektif. Dengan kata lain, kesantunan berbahasa lebih mengedepankan nilai sosial dan menghormati perasaan orang lain. Pemilihan kosakata juga perlu diperhatikan dalam bertutur agar benar- benar santun. </em></p> <p><em>Pasar tradisional merupakan salah satu tempat utama berlangsungnya interaksi sosial. Dalam sebuah interaksi, tentunya keterlibatan bahasa memegang peranan yang penting untuk menjalin komunikasi antara individu yang satu dengan lainnya. Tanpa disadari, ketika para partisipan yang berada di dalamnya (penjual dan pembeli) sedang melakukan percakapan atau tawar-menawar, ada perkataan yang dirasa kurang baik, pemilihan kata yang kurang tepat, atau pelafalan secara keras yang dengan atau tidak sengaja diucapkan oleh penjual atau pembeli yang menyebabkan salah seorang di antara kedua pihak tersebut merasa tersinggung sehingga menyulut terjadinya konflik atau perkelahian. Peristiwa semacam itu menjadi fenomena umum yang kerap kita jumpai di pasar dan tidak terkecuali di pasar malam Bratang Surabaya. </em></p> <p><em>Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan</em> <em>prinsip kesantunan berbahasa dalam komunikasi tawar-menawar di pasar tradisional Surabaya. Penulis memilih pasar tardional di Bratang Surabaya sebagai objek penelitian karena peneliti menemukan tuturan yang dirasa memiliki unsur dalam prinsip kesantunan. Penelitian tentang prinsip kesantunan di pasar tradisional Surabaya difokuskan pada dua pedagang, yaitu pada Ibu Desi dan Ibu Ani. Dua objek tersebut menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi. Tutuan dua pedadang dirasa menarik untuk dikaji karena ketika berdagang dua penjual melakukan obrolan di luar barang yang akan dijual. Obrolan yang muncul banyak memberi nilai pesan moral, nilai kebaikan, nilai religius, dan lain-lain. Pendekatan penelitian dalam penelitian yaitu pendekatan kualitatif yang menghasilkan analisis deskriptif. Peneliti berusaha mendeskripsikan fakta berupa tuturan sehingga bisa dianalisis prinsip kesantunannya. Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik rekam dan simak. Data yang sudah diperoleh melalui rekaman ditranskipsi kemudian dianalisis menggunakan teori prinsip kesantunan Leech. </em></p> <p><em>Hasil penelitian menunjukkan bahwa prinsip kesantunan berbahasa dalam komunikasi tawar-menawar di pasar tradisional Surabaya, data yang mengandung prinsip kesantunan maksim kearifan sebanyak 5 data, prinsip kesantunan maksim kedermawanan sebanyak 2 data, prinsip kesantunan maksim pujian 6 data, prinsip kesantuanan maksim kerendahan hati 2 data, prinsip kesantunan maksim kesepakatan 2 data, dan prinsip kesantunan maksim simpati 1 data. Contoh analisia data: </em><em>Pembeli 1:Ibu semoga jualannya lancar, sukses. Bu Ani:<strong>Iya mbak, terima kasih atas doanya</strong>, semoga mbaknya juga <strong>lancar rezeki</strong>. Pembeli 1: Iya bu, <strong>semoga rezeki saya </strong> juga lancar” (2/12/2023,31:20). Data tersebut masuk ke dalam maksim kearifan karena pembeli mendoakan penjual agar dagangan Bu Ani lancar, demikian sebaliknya. </em></p> <p><em>Secara umum, persentase data yang mengandung prinsip kesantunan dalm komunikasi tawar-menawar di pasar tradisional Surabaya yaitu (1) maksim pujian sebesar 35%, (2) maksim kearifan sebesar 30%, (2) maksim kedermawanan sebesar 10%, (3) maksim kerendahan hati sebesar 10%, (5) maksim kesepakatan sebesar 10%, dan (6) maksim simpati sebesar 5%. Simpulan hasil penelitian bahwa tuturan dalam komunikasi tawar-menawar di pasar tradisonal Surabaya banyak mengandung prinsip kesantunan maksim pujian karena lingkungan pasar yang bersifat sosial dan santai. Selain itu, penutur cenderung memberikan pujian untuk menciptakan suasana yang positif dan ramah di antara penjual dan pembeli. Maksim pujian juga berfungsi untuk meningkatkan semangat penjual dan menciptakan hubungan yang lebih baik antara pembeli dan penjual. Rekomendasi hasil penelitian walaupun komunikasi dilakukan di pasar, namun harus tetap menggunakan bahasa yang santun saat tawar-menawar. </em></p>2024-09-28T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 Prosiding Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya (KOLITA)https://ejournal.atmajaya.ac.id/index.php/kolita/article/view/5995ANALISIS AKUSTIK PRODUKSI BUNYI VOKAL PADA ANAK PENYANDANG DOWN SYNDROME DI SLB2024-09-27T10:25:56+07:00Tri Wahyu Retno Ningsih twahyurn@gmail.com<p><em>Anak-anak dengan</em><em> Down </em><em>Syndrome (DS) diidentifikasi mempunyai keterlambatan perkembangan kebahasaan. Ganguan perkembangan bahasa ditemukan pada gangguan untuk memproduksi bunyi segmental dan suprasegmental. Gangguan pada unsur suprasegmental ditemukan pada produksi bunyi vokal dan bunyi konsonan yang berhubungan dengan perkembangan fonologisnya. Bentuk </em><em>fisiologis</em><em> yang khas, yaitu</em><em> saluran vokal yang lebih kecil dengan ukuran lidah atau bentuk palatal lunak mempengaruhi </em><em>kemampuan mereka untuk memproduksi ujaran. </em><em>Hipotonia otot juga menurunkan kualitas karakteristik spektral suara</em><em> dan kualitas artikulasi</em><em>. </em><em>Gangguan dalam mem</em><em>produksi bunyi </em><em>ujaran tersebut </em><em>mempengaruhi </em><em>produksi </em><em>frekuensi, energi, dan tempo</em><em> ujaran pada saat mereka berbicara</em><em>.</em><em> Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kualitas dan </em><em>karakteristik akustik </em><em>bunyi vokal </em><em>yang </em><em>dihasilkan </em><em>oleh anak</em><em>-anak</em><em> dengan Down </em><em>Syndrome. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian fonetik eksperimental menggunakan kerangka kajian fonetik akustik. Perangkat lunak yang digunakan untuk menganalisis data akustik adalah perangkat lunak PRAAT (Boersma dan Weenink, 2010). Fitur akustik yang diukur adalah durasi, nilai F<sub>0,</sub> dan nilai forman .Perangkat lunak ini digunakan untuk mengukur nilai forman pada masing-masing sumber bunyi vokal. Sumber data penelitian adalah anak dengan </em><em>Down </em><em>Syndrome berusia 9 dan 10 tahun. Anak dengan </em><em>Down </em><em>Syndrome yang diteliti merupakan siswa dari SLB di Kota Depok. Alat penelitian yang digunakan adalah alat peraga berupa kartu baca, kamera, alat perekam, dan video. Kartu baca digunakan sebagai alat stimulasi sebelum proses perekaman dan saat perekaman. </em><em>Hasil penelitian menunjukkan</em><em> bahwa posisi lidah pada anak dengan </em><em>Down </em><em>Syndrome tidak tepat dalam memproduksi bunyi vokal. </em><em> </em><em>Bunyi vokal yang dihasilkan oleh anak DS cenderung lemah dan bunyi yang dihasilkan sulit didengar. Bunyi vokal [o] diproduksi rendah, sementara itu pada tabel vokal bahasa Indonesia, bunyi vokal [o] diproduksi di posisi madya. Bunyi [i] juga diproduksi di posisi lidah bagian bawah, padahal seharusnya diproduksi di vokal atas. Meskipun hasil analisis data akustik menunjukkan bahwa anak </em><em>Down </em><em>Syndrome belum dapat memproduksi bunyi vokal pada posisi yang tepat, namun anak-anak tersebut mampu memproduksi semua bunyi vokal, yaitu bunyi vokal [a], </em><em>[i], [u], [e], [o].</em></p>2024-09-28T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 Prosiding Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya (KOLITA)https://ejournal.atmajaya.ac.id/index.php/kolita/article/view/5996DIMENSI SOSIOLINGUISTIK PENGGUNAAN VOKATIF KOMBINASI KEKERABATAN DAN NAMA DIRI TERHADAP MITRA TUTUR DALAM TINGKAT TUTUR BAHASA SUNDA2024-09-27T10:33:03+07:00Wahya Wahyawahya@unpad.ac.id<p><em>Bahasa Sunda merupakan salah satu bahasa yang terdapat di Indonesia yang memiliki kekayaan beragam vokatif sebagai sarana komunikasi verbal. Salah satu vokatif yang tedapat dalam bahasa Sunda adalah vokatif kombinasi kekerabatan dan nama diri, yaitu gabungan vokatif kekerabatan dan vokatif nama diri. Vokatif kombinasi kekerabatan dan nama diri dapat digunakan oleh penutur untuk memanggil mitra tutur dalam hubungan sosial tertentu dan dalam kode tingkat tutur tertentu dalam bahasa Sunda. Tulisan ini membahas penggunaan vokatif kombinasi kekerabatan dan nama diri oleh penutur terhadap mitra tutur, hubungan sosial antara penutur dan mitra tuturnya dalam penggunaan vokatif kombinasi tersebut, dan kode tingkat tutur yang digunakan oleh penutur terhadap mitra tutur pada penggunaan vokatif kombinasi tersebut dalam bahasa Sunda. Metode penelitian bersifat deskriptif kualitatif. Penyediaan data menggunakan metode simak dengan teknik catat. Penganalisisan data menggunakan metode padan pragmatik dengan pendekatan sosiolinguistik. Sumber data menggunakan sumber data tulis, yaitu sepuluh buku fiksi berbahasa Sunda dengan pertimbangan dalam buku-buku fiksi tersebut terdapat data yang diperlukan untuk penelitian di samping sebagai sampel. Berdasarkan hasil penelitian dipilih empat belas data kalimat yang memuat vokatif kombinasi kekerabatan dan nama diri. Vokatif kekerabatan yang berbeda ditemukan berjumlah delapan jenis yang bergabung dengan empat belas nama diri yang beragam. Kecuali vokatif kekerabatan Alo ‘Ponakan’, yang berwujud vokatif utuh, vokatif kekerabatan lainnya berwujud vokatif penggalan. Hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur dalam penggunaan vokatif kombinasi kekerabatan dan nama diri oleh penutur terhadap mitra tutur ini ada enam jenis, yaitu (1) ketetanggaan, (2) pertemanan, (3) kekeluargaan, (4) kedinasan, (5) lurah santri-santri, dan (6) majikan-pembantu dengan didominasi hubungan sosial pertemanan dan kedinasan. Adapun pemakaian tingkat tutur dalam penggunaan vokatif kombinasi kekerabatan dan nama diri oleh penutur terhadap mitra tutur ini berupa kode hormat, yaitu sepuluh data, dan kode akrab, yaitu empat data. Dengan demikian, penggunaan vokatif kekerabatan didominasi kode hormat.</em></p>2024-09-28T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 Prosiding Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya (KOLITA)https://ejournal.atmajaya.ac.id/index.php/kolita/article/view/5997DESKRIPSI POLA SUKU KATA BAHASA BANGGOI DI KABUPATEN SERAM BAGIAN TIMUR2024-09-27T10:36:12+07:00Yulino IndraErniatibrin12@gmail.comErniati ErniatiErniatibrin12@gmail.com<p><em>Bahasa Banggoi dituturkan oleh masyarakat Desa Banggoi, Desa Banggoi Pancoran, dan Desa Dreamland Hills Kecamatan Bula Barat, Kabupaten Seram Bagian Timur, Provinsi Maluku. Wilayah tutur bahasa Banggoi berbatasan dengan wilayah tutur bahasa Hoti di sebelah timur, jumlah penutur 350 (1989) merupakan rumpunAustronesia SL (2006). Saat ini, bahasa Banggoi sudah tidak lagi digunakan untuk berkomunikasi sehari-hari. Oleh karena itu, bahasa Banggoi sudah berada pada status terancam punah.penuturnya hanya tersisa dan menggunakan bahasa Banggoi sekita umur 60 tahun ke atas. Penelitian ini bertujuan mengindetifikasi pola pembentukan suku kata bahasa Banggoi..Metode yang digunakan adalah metode kualitatif deskriptif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara langsung dengan penutur asli bahasa Banggoi yang ada di wilayah tutur Desa Banggoi dengan menggunakan kuesioner. Selanjutnya, data yang sudah terkumpul, diidentifikasi berdasarkan pola suku katanya. Hasil analisis menunjukkan bahwa pola suku kata bahasa Banggoi tidak selengkap dengan pola suku kata bahasa Indonesia, hanya terdiri atas (1) KV, (2) VK, (3) VV, (4) VKV, (5) VKV, (6) KVK, (7) VKVK, dan (8) KKKKV.</em></p>2024-09-28T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 Prosiding Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya (KOLITA)https://ejournal.atmajaya.ac.id/index.php/kolita/article/view/5998GAYA BAHASA MENGKRITIK DEBAT PUBLIK PASANGAN CALON PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA2024-09-27T10:46:46+07:00Zona Rida Rahayuzonaridarahayu550@gmail.com<p><em>Penelitian gaya bahasa mengkritik di dalam debat publik putaran pertama Pasangan Calon Presiden Indonesia tahun 2024 dilatarbelakangi oleh sikap berbahasa elit politik Indonesia saat berkomunikasi tidak mengungkapkan maksud ujaran secara langsung. Pasangan calon presiden menyembunyikan maksud ujaran, sehingga para pendengar kesulitan bahkan keliru menafsirkan maksud ujaran. Penelitian ini akan menelah tentang gaya bahasa mengkritik di dalam debat publik putaran pertama Pasangan Calon Presiden Indonesia pada Selasa 12 Desember 2023 lalu. Telaah penelitian ini menggunakan teori </em><em>AWK yaitu teori Michel Foucault. Foucault menjelaskan definisi dari wacana beserta dengan potensi politik dan kaitanya dengan kekuasaan, wacana adalah elemen taktis yang beroperasi dalam kancah relasi kekuasaan. Antara wacana dan kekuasaan memiliki hubungan timbal balik, seperti yang dikatakan Foucault, elemen taktis yang sangat terkait dengan kajian strategis dan politis, tapi tentu saja istilah politik di sini tidak selalu berarti faktor-faktor pemerintahan, segala sesuatu yang menghegemoni baik itu secara kulturul maupun secara idiologis sebenarnya memiliki konstruksi politisnya sendiri. </em><em>Tujuan penelitian ini adalah (1) menjelaskan bentuk gaya bahasa mengkritik di dalam debat publik putaran pertama Pasangan Calon Presiden Indonesia (2) konteks komunikasi gaya bahasa mengkritik di dalam debat publik putaran pertama Pasangan Calon Presiden Indonesia. </em><em>Pendekatan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode etnografi komunikasi. </em><em>Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah (1) mendengarkan secara keseluruahn debat publik putaran pertama Pasangan Calon Presiden Indonesia pada Selasa 12 Desember 2023, (2) menginventarisasi bentuk gaya bahasa mengkritik debat publik putaran pertama Pasangan Calon Presiden Indonesia, (3) mengklasifikasikan gaya bahasa mengkritik berdasarkan bentuk, (4) mengklasifikasikan gaya bahasa mengkritik berdasarkan berdasarkan kontek komunikasi, (5) melakukan analisis dan pembahasan berdasarkan teori AWK </em><em>Michel Foucault. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa ada tiga bentuk gaya bahasa mengkritik yang digunakan pasangan calon presiden saat berkomunikasi dalam debat publik tersebut. Gaya bahasa mengkrtiki ini adalah sinisme, satire, dan eufemisme. Dari ketiga bentuk gaya bahasa mengkritik ini yang lebih dominan digunakan oleh pasangan calon adalah gaya bahasa mengkritik berbentuk satire. Hal ini digunakan untuk melindungi kedua mitra tutur tersebut dalam bekomunikasi baik penutur dan petutur. Dalam debat ini ada kecenderungan mengungkapkan maksud ujaran secara tidak langsung. Selanjutnya, konteks komunikasi gaya bahasa mengkritik adalah higt dan low Context Culture. Higt Context Culture, digunakan penutur untuk menghormati dan menghargai sesama pasangan calon. Low Context Culture gaya bahasa mengkritik digunakan untuk mengungkapkan maksud ujaran secara langsung, sehingga mitra tutur dapat menangkap maksud ujaran secara langsung. </em></p>2024-09-28T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 Prosiding Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya (KOLITA)