PARADOKS KEBIJAKAN DI ERA OTONOMI DAERAH: STUDI KASUS KEBIJAKAN BAHASA PROVINSI JAWA TENGAH
Keywords:
Otonomi Daerah, Kebijakan Bahasa, Provinsi Jawa Tengah, Sunda-BrebesAbstract
Otonomi daerah merupakan sebuah era kekuasaan yang dimulai setelah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah berlaku di seluruh wilayah Indonesia. Di era ini setiap provinsi perlu menentukan identitas lokalnya (baca: budayanya) dan dalam hal kebahasaan setiap provinsi perlu membuat kebijakan bahasa daerah untuk keperluan identitas lokal. Namun demikian, kita ketahui bahwa di Indonesia terdapat ratusan bahasa sehingga akan sulit menetapkan satu identitas budaya untuk mewakili sebuah provinsi. Persoalannya ialah, dalam realitas masyarakat yang sangat heterogen, bagaimana kebijakan bahasa yang ada pada saat ini dan bagaimana respons masyarakat yang identitas etnisnya tidak terakomodasi. Makalah ini akan membahas kasus kebijakan bahasa daerah di Provinsi Jawa Tengah melalui kajian dokumen kebijakan, literatur dan wawancara kelompok etnis Sunda-Brebes di Provinsi Jawa Tengah. Komunitas ini penting diteliti karena mereka merupakan penduduk asli di Jawa Tengah meskipun memiliki identitas yang berbeda. Perlu diketahui pula bahwa penelitian kualitatif yang menggunakan data wawancara ini menggunakan purposive sampling dalam pemilihan sampel. Hal ini penting dilakukan karena penulis lebih menekankan pada subjek penelitian yang merasakan efek langsung dari penerapan kebijakan bahasa di Jawa Tengah, terutama dalam bidang pendidikan. Untuk keperluan makalah ini, penulis hanya menggunakan satu sampel data wawancara dari Kecamatan Brebes. Namun demikian, meskipun jumlahnya kecil pendapatnya memberikan gambaran masyarakat Sunda-Brebes mengingat ia tidak hanya seorang asli Sunda-Brebes, tetapi juga guru bahasa daerah dan seniman Sunda. Perlu pula dicatat bahwa wawancara dilakukan kurang lebih selama dua jam dan pertanyaan dibangun dalam diskusi dari pertanyaan “Apa yang Anda rasakan dan Anda lakukan ketika kebijakan bahasa Jawa diterapkan di seluruh Provinsi Jawa Tengah? Kedua pertanyaan pokok ini penting karena perasaan dan tindakan/perilaku merepresentasikan kesetujuan ataupun penolakan. Temuan menunjukkan bahwa Jateng telah menetapkan dan menerapkan (1) Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah No. 9 Tahun 2012 tentang Bahasa, Sastra, dan Aksara Jawa, (2) Peraturan Gubernur Jateng No. 57/2013, dan (3) Peraturan Gubernur Jawa Tengah Nomor 55 Tahun 2014. Saat ini seluruh sekolah di Jateng mengajarkan bahasa Jawa, termasuk wilayah orang Sunda-Brebes. Terhadap kebijakan tersebut, seorang guru sekolah dasar yang telah mengabdi lebih dari 30 tahun di Kecamatan Salem berpendapat bahwa “Kami merasa terjajah.” Pernyataan itu merupakan salah satu ekspresi jujur yang didapatkan oleh peneliti ketika melakukan pengumpulan data. Sebagai guru dan seniman yang memiliki keterikatan dengan budaya Sunda, sekolahnya tetap mengajarkan aksara Jawa tetapi ia sendiri masih melatih murid-muridnya bermain karawitan. Ia juga mengklaim bahwa anak-anak asuhannya selalu memenangkan pertandingan seni Sunda. Apa yang diungkapkan dan yang dilakukan ini merupakan sebuah artikulasi kelompok minoritas yang bertahan dalam kondisi tidak menguntungkan secara politis. Di sisi lain, pengajaran bahasa Jawa masih memiliki tantangan teknis karena tidak memiliki guru yang memadai. Dengan demikian, pertanyaannya kembali apakah kebijakan yang bersifat homogen tersebut perlu dipertahankan di tengah masyarakat yang heterogen dan memiliki kesetaraan hak budaya.