Hutan Untuk Kesejahteraan Masyarakat Studi Kasus Cileuksa, Bogor, Jawa Barat
DOI:
https://doi.org/10.25170/respons.v16i01.724Kata Kunci:
Hutan, konservasi, keadilan, hutan lindung, kesejahteraan, pembangunan berkelanjutan, Cileuksa.Abstrak
Perjuangan untuk mendapatkan keadilan bukanlah jalan mudah untuk digapai. Seringkali penegak keadilan menjadi tembok besar yang menghalangi keberhasilan menggapai keadilan. Di manapun rakyat selalu dalam posisi yang tidak diuntungkan. Namun demikian, keadilan harus tetap diperjuangkan lepas dari apakah akan berhasil atau tidak. Mungkin saja kita harus sabar untuk menunggunya. Itulah yang dialami masyarakat Cileuksa yang hidupnya terhimpit tembok raksasa dalam memperjuangkan keadilan untuk mencapai kesejahteraan. Di sini pemegang otoritas tentu tidak boleh bersikap sewenang-wenang terhadap rakyat yang semestinya harus dilindungi, karena menjaga keadilan tujuannya tidak lain adalah menjaga hubungan harmonis antara pemerintah dan masyarakat. Keyakinan harus ada bahwa segala persoalan akan dapat dicarikan jalan keluar apabila kedua belah pihak mau duduk Bersama saling menghormati dan saling mendengarkan untuk menemukan jalan keluar yang terbaik. Pastinya, pemerintah mempunyai kewajiban menegakkan keadilan, terutama bagi masyarakat Cileuksa yang merasa diperlakukan tidak adil setelah pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Hutan Lindung.
Referensi
Bertens, K. (2000). Pengantar Etika Bisnis, Yogyakarta: Kanisius.
Keraf, Sonny, A. (2002). Etika Lingkungan Jakarta: Kompas.
Mirna Safitri (2007). Wacana Pembaharuan Hukum di Indonesia, Jakarta: Huma
dan Ford Foundation.
(2008). Diambil dari Daftar Isian Potensi Desa Dan Tingkat Perkembangan Desa
Bagan Pemerintahan Desa Sekretaris Daerah Kabupaten Bogor.
Galudra, G., Ramdhaniaty, N., Soenarto, F., Nurzaman, B., dan Sirait, M. Kondisi
Ketahanan Pangan Masyarakat dalam Cengkeraman Kebijakan Tata
Ruang dan Penetapan Kawasan Halimun.
Galudra, Gamma. Conservation Policy versus Reality: Case Study of Flora, Fauna
dan Land Utilization by Local Communities in Gunung Halimun-Salak
National Park, ICRAF Southeast Asia Working Paper, No. 2003_http://
worldagroforestrycentre.org/sea.
Emila dan Suwito (2006). TN gunug Halimun dan Masyarakat Adat Kesepuhan,
Working Group on Forest Land Tenure, www.wg-tenure.org – Warta
Tenure Nomor 2 – Mei.
Galudra, Gamma. “Memahami Konflik Tenurial melalui Pendekatan Sejarah: Studi
Kasus di Lebak, Banten’. Arsip dan dokumen di Masa Hindia Belanda
diterjemahkan oleh Harto Juwono, Konsultan INCRAFSEA. Makalah
disampaikan dan dipublikasikan untuk Warta Tenure dan merupakan
bagian dari Program Studi Bersama di Halimun Salak antara RMI,
HUMA, INCRAF, WG-T dan masyarakat Halimun-Salak.
Dikutip dari pidato Soepomo di Yogyakarta pada tahun 1927 oleh Satjipto
Rahardjo. Soepomo menulis tentang ini dalam bukunya yang berjudul
Bab-bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 2007, Bab II.
Riyanto, Budi. Hukum Kehutanan Dan Sumber Daya Alam, Bunga Rampai,
Lembaga Pengkajian Hukum Kehutanan dan Lingkungan, Bogor.